Disinilah, saya kira, ulama memiliki arti dan peran sangat menentukkan dalam menafsir ulang, memperbaharui, memperkaya ide-ide kenabian. Para ulama jelas memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran para nabi, sebab tidak segala hal telah terpikirkan oleh para nabi di zamannya.
Dengan demikian, ketika para ulama Nusantara mempopulerkan istilah 'minal aidin wal faizin' dalam konteks Idul Fitri, berarti mereka memahami bahwa masyarakat muslim Indonesia hendaklah dikembalikan ke fitrahnya sebagai suatu komunitas dengan ikatan-ikatan kultural (umat) yang kuat, untuk mencapai kebahagiaan hakiki penuh kedamaian dan cinta persatuan.
Jika makna "taqabbalallahu minna wa minkum" (semoga Allah menerima ibadah kita dan kalian) seolah memberikan penekanan primordial dan bernuansa vertikal, maka 'minal aidin wal faizin' melampaui yang primordial, jauh menembus batas-batas vertikal dalam konteks kebaktian.Â
Kalimat 'minal aidin' berarti memiliki konotasi vertikal, sebab setiap pribadi dikembalikan fitrahnya sebagai hamba Tuhan dan 'wal faizin' berkonotasi horizontal (ibadah mahdlah) yang memberi tekanan sosiologis.
Demikianlah cara berpikir para ulama Nusantara yang 'melampaui' banyak hal bahkan sanggup menyingkap apa yang 'belum terpikir' oleh para nabi pendahulunya.Â
Itulah sebabnya, Nabi Muhammad secara tegas menyatakan, "al-ulamaa' waraatsat al-anbiyaa'" dimana otoritas kenabian secara legitimated dilanjutkan oleh para ulamanya. Jika ulama berhasil melanggengkan ajaran-ajarannya dan hidup kokoh dalam tradisi masyarakatnya, berarti itulah ajaran nabi yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H