Istilah 'minal aidin wal faizin' menjadi kalimat sakti di Idul Fitri yang hampir menggeser seluruh ungkapan lainnya yang populer, sekalipun berkonotasi serupa. Bahkan, istilah 'taqabbalallahu minna wa minkum' yang dianggap lebih 'legitimated' karena berdasar pada hadis Nabi Muhammad, kalah populer dengan ungkapan 'minalnaidin'.
Saya kira, istilah 'minal aidin' memang memiliki  akar historis dalam masyarakat muslim Nusantara, tidak mengadopsi langsung dari tradisi generasi awal Islam.Â
Saya tak menemukan kallimat 'minal aidin wal faizin' dalam literatur Islam manapun, kecuali bahwa kalimat ini begitu hidup dalam batin masyarakat Indonesia. Kapan istilah tersebut dan siapa yang mempopulerkannya, sama dengan istilah 'halal bihalal' yang diklaim berasal dari para ulama Nusantara.
Asumsi saya, kalimat 'minal aidin wal faizin' adalah nilai moral yang digali dari makna Idul Fitri, dimana "'id" yang berkonotasi "hari raya" dan "kembali" seolah mempertegas makna bersatu dan bergembira yang diikat kembali melalui nilai-nilai kultur masyarakat secara historis-teologis.Â
Masyarakat harus 'dikembalikan' kepada jati diri kulturalnya menjadi umat: suatu ikatan sosial lintas iman, lepas dari ikatan-ikatan kekelompokan dan fanatisme golongan apapun.
Dalam arti yang paling umum, kalimat 'minal aidin wal faizin' berarti "semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang kembali dan yang bersatu dalam kebahagiaan".Â
Mengembalikan masyarakat yang sedemikian hetetogen tidaklah mudah dan hanya di momen Idul Fitri upaya mempererat ikatan-ikatan sosio-kultural itu terasa mudah diwujudkan. Disadari maupun tidak, nilai-nilai Islam yang "menyelamatkan" sekaligus "mendamaikan" telah sedemikian kuat digagas para ulama di Nusantara.
Ulama yang disebut sebagai 'pewaris para nabi' jelas memiliki legitimasi sebagai penafsir bahkan penggagas utama atas berbagai hal baru yang belum terpikirkan oleh para nabi pada masanya.Â
Bahkan dalam banyak hal, para ulama justru melampaui gagasan para nabi pendahulunya dan hal ini dapat dibuktikan melaui betapa kaya gagasan-gagasan mereka yang terangkum dalam banyak literatur maupun tradisi hidup yang diteladani masyarakat.
Para nabi yang diutus menjadi mandataris Tuhan, tak akan sanggup menghidupkan ajaran-ajaran kebajikannya, kecuali dilanjutkan dan dilanggengkan oleh para pewarisnya kemudian.Â
Disinilah, saya kira, ulama memiliki arti dan peran sangat menentukkan dalam menafsir ulang, memperbaharui, memperkaya ide-ide kenabian. Para ulama jelas memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran para nabi, sebab tidak segala hal telah terpikirkan oleh para nabi di zamannya.
Dengan demikian, ketika para ulama Nusantara mempopulerkan istilah 'minal aidin wal faizin' dalam konteks Idul Fitri, berarti mereka memahami bahwa masyarakat muslim Indonesia hendaklah dikembalikan ke fitrahnya sebagai suatu komunitas dengan ikatan-ikatan kultural (umat) yang kuat, untuk mencapai kebahagiaan hakiki penuh kedamaian dan cinta persatuan.
Jika makna "taqabbalallahu minna wa minkum" (semoga Allah menerima ibadah kita dan kalian) seolah memberikan penekanan primordial dan bernuansa vertikal, maka 'minal aidin wal faizin' melampaui yang primordial, jauh menembus batas-batas vertikal dalam konteks kebaktian.Â
Kalimat 'minal aidin' berarti memiliki konotasi vertikal, sebab setiap pribadi dikembalikan fitrahnya sebagai hamba Tuhan dan 'wal faizin' berkonotasi horizontal (ibadah mahdlah) yang memberi tekanan sosiologis.
Demikianlah cara berpikir para ulama Nusantara yang 'melampaui' banyak hal bahkan sanggup menyingkap apa yang 'belum terpikir' oleh para nabi pendahulunya.Â
Itulah sebabnya, Nabi Muhammad secara tegas menyatakan, "al-ulamaa' waraatsat al-anbiyaa'" dimana otoritas kenabian secara legitimated dilanjutkan oleh para ulamanya. Jika ulama berhasil melanggengkan ajaran-ajarannya dan hidup kokoh dalam tradisi masyarakatnya, berarti itulah ajaran nabi yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H