Tak hanya itu, aroma surga dan neraka justru kental yang sesekali disampaikan secara verbal oleh para "ulama" dimana seolah-olah kandidat yang didukungnya adalah pemegang kunci surga dan berhak menutup pintu neraka.
Ajang pesta rakyat yang gembira, tentu saja tak sesuai yang kita duga. Bagaimana tidak, banyak yang jungkir balik mati-matian mengubah pesta rakyat menjadi ajang "perang puputan" seperti peristiwa di abad kedelapan belas. Para raja Bali pada akhirnya ada yang meminta dukungan penjajah untuk saling serang dengan sesamanya, hanya karena haus kekuasaan.Â
Para "kafir londo" yang tergiur menduduki Bali, berkolaborasi dengan beberapa penguasa lokal---tentu saja dengan beragam iming-iming privilage---sekalipun pada akhirnya kesepakatan itu banyak yang diingkari Belanda. Dewa Agung, raja terakhir Bali pada akhirnya menyerah dan membiarkan Belanda menduduki wilayah kekuasaannya.
Peristiwa Perang Puputan, tentu saja peristiwa heroik dimana rakyat Bali rela mengorbankan nyawa mereka---bahkan dalam gambaran M.C Ricklefs orang yang masih terluka terpaksa dibunuh demi harga diri---dalam upaya mempertahankan kekuasaan politik dari penjajah.Â
Ratusan ribu korban bergelimpangan ditembus peluru-peluru yang berasal dari senapan Belanda dan mereka wafat demi mempertahankan harga dirinya. Gambaran Perang Puputan ini dengan semangat menggelora dan siap mati mempertahankan kekuasaan sampai titik darah penghabisan, seolah memiliki semangat yang kurang lebih sama dalam rangkaian pemilu kali ini.
Memang, bukan nyawa dalam realitas nyata ketika terjun ke medan perang yang dipertaruhkan, namun semangat mengorbankan nyawa jika ada kecurangan, kekalahan, atau hal apapun yang kemudian membuat kandidat dukungannya kalah dalam kontestasi, mungkin saja terjadi.Â
Istilah-istilah "perang" juga sempat dilontarkan oleh salah seorang elit pendukung salah satu kandidat, bahkan tak segan-segan ia sendiri yang akan "menggeruduk" lembaga berwenang pemilu jika diketahui ada indikasi-indikasi kecurangan politik yang dilakukan pesaingnya. Lalu, muncul lagi pertanyaan, ini pesta rakyat atau perang?
Namun paling tidak, inilah gambaran fanatisme politik jelang pencoblosan yang barangkali hampir tak pernah ditemukan dalam realitas pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia.Â
Sekalipun Herbert Feith pernah mengungkap ada kekuatan semangat politik yang berbenturan dengan ideologi agama yang begitu kuat di Pemilu pertama 1955, namun sepertinya tak sekental dan sekeras pemilu sekarang ini kondisinya.Â
Indonesia, tentu saja tidak sedang berada pada masa euforia politik seperti yang terjadi selepas terjungkalnya rezim Orde Baru, pun tidak dalam kondisi tekanan politik atau agama seperti yang kemudian melahirkan "Westernisasi" di Turki pada pertengahan abad ke sembilan belas. Kita tentu banyak yang bertanya-tanya, kekuatan apa gerangan yang sedang "membelah" realitas sosial-politik di negeri ini?
Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, yang sadar hukum dan melek politik, tentu kita bangga dan mengapresiasi setinggi-tingginya kepada semua pihak---terutama KPU---yang dengan jerih payahnya menyuguhkan alur demokratisasi yang sedemikian sulit ditengah tantangan dan suuzon politik yang kadang kelewatan.Â