Kehadiran kelompok Islamis radikal tentu saja dalam banyak hal menjadi ancaman bagi keberadaan umat moderat itu sendiri dan sekaligus mengancam keutuhan negara-bangsa. Maka, berbagai upaya deradikalisasi yang diinisiasi ormas Islam mainstream dan pemerintah, belakangan gencar dilakukan dan yang paling baru tentu saja program Ajengan Masuk Sekolah (AMS) sebagaimana diinisiasi Pemprov Jabar.Â
Sekalipun program ini cenderung dipaksakan---karena ajengan atau kiai tentu saja orang yang dihormati, sehingga masyarakatlah seharusnya yang mendatanginya bukan sebaliknya---paling tidak menunjukkan, bahwa hasil kajian akademis soal radikalisme ternyata, termasuk hasil riset berbagai lembaga survey, sukses menjadi tolok ukur bagaimana negara memandangnya sebagai sebuah ancaman nyata bagi keutuhan umat yang moderat.
Memahami Islam dalam konteks umat moderat, tentu harus dilalui dengan keterbukaan wawasan berpikir, non-sektarian, dan keluar dari ukuran-ukuran fanatisme kelompok atau golongan, bahkan steril dari segala intervensi politik. Masih kuatnya pengaruh fanatisme kekelompokan atau golongan yang membelah Islam secara sektarianisme-ideologis justru hanya menempatkan Islam moderat hanya sebatas wacana.Â
Islam moderat seolah hanya sekadar penegasan atas klaim kelompok tertentu bahkan dengan latar belakang ideologis tertentu pula. Mungkin dengan memakai istilah "umat moderat" wacana ini akan dapat lebih diterima, mengingat diksi "umat" lebih kosmopolit, egaliter, dan berkeadilan sekaligus menghilangkan diksi kuat kekelompokan dan fanatisme golongan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H