Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Islam Moderat

8 Februari 2019   16:13 Diperbarui: 8 Februari 2019   16:48 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam suatu perhelatan besar, saya mendengar seorang kiai berceramah dengan mengatakan bahwa tidak ada istilah "umat Islam" yang ada hanyalah "umat". Istilah "umat"  memang dalam berbagai derivasinya mengkonotasikan suatu ikatan-ikatan solidaritas secara politik, lintas kelompok, suku, bahkan agama. 

Dengan demikian, umat dalam bentuk kesatuan masyarakat politik mewakili tiga hal sekaligus: kelompok, tradisi atau nilai, dan religiusitas. Dalam bahasa yang kurang lebih sama, Bernard Lewis dalam "The Political Language of Islam" pernah menyebut umat sebagai komunitas Islam yang tunggal dan universal, mencakup seluruh wilayah dimana kekuasaan kaum muslim berhasil dimantapkan dan dimana hukum Islam diberlakukan.

Merujuk pada definisi Lewis, dengan batasan komunitas Islam yang mantap secara universal, maka Indonesia merupakan wujud nyata salah satunya. Dengan penduduk muslim terbesar di dunia, maka secara tidak langsung kekuasaan kaum muslim berhasil dimantapkan dan sekaligus hukum Islam diberlakukan sekalipun masih parsial. 

Namun demikian, umat sebagai suatu entitas politik tentu saja menyepakati secara bulat bentuk-bentuk pemerintahan dan hukum-hukum yang melingkupinya secara mengikat demi tujuan kepentingan bersama. Umat dengan demikian, menegaskan sisi  universalitasnya tanpa harus dibatasi sekat-sekat primordialisme, baik kelompok, suku, atau agama.  

Penegasan istilah umat, memang secara tidak langsung menolak berbagai bentuk entitas primordial,  melalui penyatuan ikatan-ikatan solidaritas secara lebih universal. Maka, makna umat dalam konteks masyarakat Islam berarti cermin dari suatu masyarakat politik yang egaliter dan kosmopolit, memiliki tujuan bersama dalam membentuk suatu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab. 

Disinilah makna Islam moderat dalam pengertian yang sesungguhnya, dibangun melalui realitas umat sebagaimana dulu diwujudkan Nabi Muhammad disaat membentuk pemerintahan-kota (city-state) Madinah. Pilihan atas nama "Madinah" bukan tanpa dasar, karena istilah ini mencakup didalamnya "diin" (agama) dan "dayyaan" (hukum), sehingga suatu komunitas politik hidup terikat secara religius dan terlindungi oleh seperangkat hukum yang disepakatinya secara bersama.

Melalui konotasi makna umat, masyarakat muslim memungkinkan telah terbiasa dengan seperangkat pemikiran, prilaku, dan tindakan yang lebih mengedepankan semangat moderasi, bahkan secara sadar, rela melepaskan ikatan-ikatan primordialitas keagamaannya. 

Islam moderat dengan demikian, perwujudan nyata dari suatu struktur sosial-politik yang mengakar sejak awal, bukan diksi kebaruan yang belakangan sering disebut-sebut terkait dengan cara berpikir kelompok tertentu. Islam moderat berarti cara pandang keseluruhan (kaaffah) terhadap Islam itu sendiri par excelence, tanpa harus terjebak dikotomisasi kepentingan sektarian.

Saya sebenarnya lebih nyaman menggunakan istilah "umat moderat" daripada "Islam moderat". Diksi ini tampak berkonotasi universal tanpa mengalami distorsi makna sekalipun menghilangkan kata "Islam" didalamnya. Hal inilah barangkali yang dimaksud oleh Alquran, dimana suatu masyarakat politik sejak masa kenabian Muhammad disebut sebagai "ummatan wasatha" (umat yang adil/moderat) tanpa menyematkan kata "Islam" secara eksplisit. 

Setiap individu yang melebur dalam umat adalah mereka yang memiliki peran kemanusiaan (syuhadaa 'ala an-naas) masing-masing dan pada akhirnya kita semua sesungguhnya yang dimaksud sebagai "umat terbaik" dengan seperangkat kemajuan peradabannya dibandingkan umat-umat lain sebelumnya.

Diksi "wasatha" yang berkonotasi "adil" menjadi kata kunci utama dalam membentuk suatu masyarakat politik yang heterogen. Masyarakat berkeadilan dengan demikian melekat sebagai citra perjuangan masyarakat muslim yang sesungguhnya, melepaskan diri dari cara pandang atas fanatisme etnis, kekelompokan atau sektarianisme ideologis, bahkan perbedaan-perbedaan agama dan keyakinan. 

Itulah sebabnya, prinsip "Islam wasathiyah" yang kerap kali identik dengan cara pandang keagamaan yang universal---tanpa sekat perbedaan-perbedaan sektarianisme ideologis---cenderung lebih terbuka, toleran, menghindari cara-cara kekerasan (moderasi) karena terdorong suasana keadilan yang harus diwujudkan dalam bentuk kepentingan bersama. 

Lalu, kenapa kemudian muncul berbagai penyebutan Islam secara dikotomis bahkan seolah memiliki peran antagonis di ranah sosial-politik dan bertentangan dengan konsep umat moderat? Dalam berbagai penelitian akademis, seringkali diungkap tipologi gerakan Islam yang membedakannya dengan prinsip-prinsip moderasi. 

Sebut saja misalnya gerakan Islam radikal atau fundamental yang bagi sebagian orang justru malah terkesan rumit. Menuju pembentukan masyarakat yang berkeadilan tentu saja tidak mudah, karena membutuhkan proses yang tidak instan. Munculnya berbagai gerakan yang mengatasnamakan "Islam" tetapi bertentangan dengan citra dirinya yang moderat, sebenarnya hal wajar dalam konteks besar masyarakat politik. 

Hasil penelitian akademis ketika masuk dalam suatu kepentingan besar politik, seringkali menjadi kerumitan tersendiri dalam memandang berbagai konotasi umat secara lebih utuh dan objektif.

Radikalisme Melawan Moderatisme 

Diskursus agama-negara selalu menjadi bagian terpenting yang tak terpisahkan dalam proses-proses pembentukan masyarakat politik yang berkeadilan. Untuk kasus Indonesia, diskursus ini sudah mulai muncul sejak bangsa ini merdeka dari berbagai tekanan politik dan terus mewarnai perjalanan panjang sejarah bangsa ini dalam menegakkan cita-cita umat berkeadilan. 

Berbagai perbedaan  muncul dalam masyarakat dalam memandang diskursus besar ini, dan tentu saja melahirkan banyak faksi dimana antara satu dan lainnya tampak kontradiktif. Sebagian besar memandang bahwa wujud Indonesia yang saat ini ada sudah cukup memenuhi rasa keadilan dan disisi lain sebagian kecil justru melihat keadilan yang sesungguhnya belum pernah terwujud dalam seluruh proses pembentukan masyarakat.

Bukan tidak mungkin, kemunculan gerakan radikal yang dituduhkan kepada sebagian kalangan Islam belakangan, juga terkait siklus keadilan yang kurang terpenuhi oleh negara. Munculnya kelompok-kelompok---meminjam istilah Martin Van Bruinessen---preman Islam yang menggunakan wacana jihadis dan mengajak pengikutnya untuk berjihad, paling tidak, menemukan momentumnya belakangan ketika dihadapkan pada konteks politik-kekuasaan. 

Radikalisme kemudian disebut sebagai gerakan atau kekuatan politik dengan mendukung cara-cara kekerasan untuk mencapai setiap tujuan yang jelas bertentangan secara langsung dengan prinsip-prinsip moderatisme Islam.

Bahkan, terminologi radikal malah semakin diperluas tak hanya sebatas cara pandang yang mendukung hal kekerasan, tetapi juga kepada mereka yang mendukung secara luas atas legalitas syariat dalam hukum ketatanegaraan. Anehnya, soal ritualitas peribadatan yang sangat personal seperti taat menjalankan salat atau selalu berpuasa di bulan Ramadan, masuk dalam kategori ukuran-ukuran radikalisme. 

Dikotomi Islam radikal dalam diktum umat moderat seolah terus  dipertentangkan, bahkan tampak keduanya saling berebut pengaruh dalam wacana besar masyarakat-negara. Mereka yang berseberangan dan dianggap radikal, seolah dituduh anti-mainstream, kelompok sempalan, atau bahkan dianggap aliran sesat.

Kehadiran kelompok Islamis radikal tentu saja dalam banyak hal menjadi ancaman bagi keberadaan umat moderat itu sendiri dan sekaligus mengancam keutuhan negara-bangsa. Maka, berbagai upaya deradikalisasi yang diinisiasi ormas Islam mainstream dan pemerintah, belakangan gencar dilakukan dan yang paling baru tentu saja program Ajengan Masuk Sekolah (AMS) sebagaimana diinisiasi Pemprov Jabar. 

Sekalipun program ini cenderung dipaksakan---karena ajengan atau kiai tentu saja orang yang dihormati, sehingga masyarakatlah seharusnya yang mendatanginya bukan sebaliknya---paling tidak menunjukkan, bahwa hasil kajian akademis soal radikalisme ternyata, termasuk hasil riset berbagai lembaga survey, sukses menjadi tolok ukur bagaimana negara memandangnya sebagai sebuah ancaman nyata bagi keutuhan umat yang moderat.

Memahami Islam dalam konteks umat moderat, tentu harus dilalui dengan keterbukaan wawasan berpikir, non-sektarian, dan keluar dari ukuran-ukuran fanatisme kelompok atau golongan, bahkan steril dari segala intervensi politik. Masih kuatnya pengaruh fanatisme kekelompokan atau golongan yang membelah Islam secara sektarianisme-ideologis justru hanya menempatkan Islam moderat hanya sebatas wacana. 

Islam moderat seolah hanya sekadar penegasan atas klaim kelompok tertentu bahkan dengan latar belakang ideologis tertentu pula. Mungkin dengan memakai istilah "umat moderat" wacana ini akan dapat lebih diterima, mengingat diksi "umat" lebih kosmopolit, egaliter, dan berkeadilan sekaligus menghilangkan diksi kuat kekelompokan dan fanatisme golongan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun