Balada Pilpres ternyata tak sekadar "copras-capres" yang hampir setiap waktu memenuhi lini media, karena dalam sisi kehidupan nyata, setiap orang justru mengakrabkan dirinya dengan riuh kepolitikan yang sedikit banyak menjungkirbalikkan akal sehat.Â
Wacana apapun yang dibangun---sekalipun itu tak terkait politik---pasti mau tidak mau harus rela dikaitkan dengan nuansa kepolitikan yang ketat, kepada pihak mana sesungguhnya dukungan politik anda berlabuh.Â
Saya kira, rentetan musibah yang terjadi di berbagai belahan bumi pertiwi, yang dirasa mampu menyatukan setiap perbedaan, tentu saja tidak seluruhnya dapat dibuktikan. Cara berpikir masyarakat kita ternyata berubah, bahkan mindset publik kebanyakan bergeser sedemikian rupa menunjukkan adanya perbedaan antara "anda" dan "saya", bahkan "kami" dan "kalian".
Haruskah "yang waras jangan ngalah"? Atau sebaliknya, kita terus memupuk kewarasan berpikir kita agar tak ikut-ikutan menjadi pribadi yang "tak waras"? Atau memang kita kadung terlilit arus polemik yang semakin lama semakin mengikis kewarasan berpikir kita, sehingga kitapun terpapar dalam pusaran ketidakwarasan?Â
Balada Pilpres memang telah menggiring sedikit banyak aspek kewarasan berpikir banyak orang yang jika terus dibiarkan mungkin saja akan berubah menjadi polemik berkepanjangan dan akhirnya memicu konflik komunal yang justru menghancurkan.Â
Semoga rangkaian kontestasi politik kali ini hanya sebatas menjadi "balada", diingat banyak orang dan menjadi sejarah paling paling mengharukan sepanjang kepolitikan bangsa ini, tanpa harus mencabik-cabik idealitas kebangsaan dan keumatan yang sejauh ini telah terpelihara dengan baik. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H