Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Balada Pilpres, Kewarasan, dan Konflik Komunal

26 Desember 2018   16:20 Diperbarui: 26 Desember 2018   16:28 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2019 kali ini memang selalu menyisakan suasana yang mengharukan, bahkan mungkin juga sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, suasana berkompetisi dalam ajang pergantian kekuasaan terasa telah jauh melampaui batas-batasnya. 

Tak hanya sebatas pertarungan para politisi, tetapi juga medan "pertempuran" seluruh masyarakat, baik simpatisan, apatisan, para ahli agama, kaum liberalis, akademisi, kelompok radikalis-ekstrimis, dan mungkin masih banyak lagi. 

Warna kepolitikan di Pilpres kali ini tentu saja campur aduk, bahkan telah "diaduk-aduk" sehingga hampir-hampir akal sehat terlampau sulit membedakannya. Balada Pilpres serasa mengharu-biru, menghadirkan sejumput harapan, namun atas dasar realitas saling serang yang seringkali berujung pada konteks ujaran kebencian, semangat kedengkian, atau apa saja yang mendramatisasi kepolitikan ini.

Banyak diantara para politisi "pembelot" membuat ramai ajang kontestasi politik, belum lagi ditambah para simpatisan dan "fanatikan" politik yang gandrung membuat kegaduhan. 

Perseteruan antarpolitisi menjadi bagian paling renyah untuk diangkat media, seolah makanan siap saji dimana desert-nya adalah "hidangan penutup" yang dinikmati melalui citra buruk yang terbangun diantara para kandidatnya yang tengah berlaga. 

Untuk meningkatkan gairah kekuasaan agar terkesan lebih nikmat, bumbu-bumbu keagamaan, ideologi, bahkan nilai tradisi dan budaya dipergunakan bahkan mungkin menjadi "bumbu penyedap" istimewa yang paling ampuh dalam membangun selera politik.

Itulah kenapa istilah "goreng-menggoreng" dalam konteks politik kekinian seringkali dimaknai sebagai bentuk manipulasi, tak ubahnya model makanan yang dimodifikasi dengan beragam bentuknya. 

Masyarakat awam tentu saja menjadi penikmat sejati dari berbagai olahan sajian politik, hasil kreativitas para "koki politisi" yang saling bertukar ambisi. Selera masyarakat yang sedemikian tinggi terhadap politik, semakin bersemangat ketika "bumbu politik" justru ditebarkan. Politik cepat saji memang menjadi menu andalan utama masyarakat kekinian, karena selain serba cepat pragmatisme tentu saja penghapus rasa dahaga dan lapar masyarakat.

Balada Pilpres ternyata tak hanya sebatas informasi "politik" yang sedemikian mudah disantap, atau diolah sedemikian rupa menjadi menu baru kepolitikan yang siap saji. 

Anehnya, informasi soal  musibah saja sering menjadi sasaran empuk bagi para "koki politisi" untuk diolah kembali menjadi "sepotong" informasi baru dan siap dilempar ke publik. Ini bukan lagi soal darurat hoaks, atau informasi yang kerap terdistorsi akibat disisipi bumbu-bumbu fitnah pelipur lara yang tujuannya  memenangkan kontestasi. 

Namun, hal ini jelas terkait dengan perubahan mindset kepolitikan secara besar-besaran, menyasar kepekaan toleransi setiap orang yang memang mulai surut, mencerabut daya kritis berdasarkan akal sehat, bahkan lebih jauh lagi, bertenaga untuk menghancurkan ikatan-ikatan solidaritas sosial secara sadar maupun tidak.

Pertanyaannya, apakah balada Pilpres ini akan berakhir setelah pemilu di tahun depan? Belum tentu juga, karena perubahan mindset tentu saja tak akan menghentikan proses polarisasi masyarakat dalam skala besar sosial-politik sejauh ini. 

Polarisasi ini tentu saja terkait erat dengan kemunculan  rangkaian berbagai drama politik yang teramat sulit dilupakan dalam setiap ingatan masyarakat. Polemik dalam masyarakat semakin mudah terjadi, bahkan tak jarang menuai konflik berkepanjangan, sekalipun hanya berkutat pada ruang-ruang pemikiran dan perbedaan pendapat. 

Namun, tak menutup kemungkinan, ruang-ruang kemanusiaan yang seringkali diisi beragam polemik akan lebih banyak membuka ruang-ruang baru konflik dalam skala komunal yang lebih besar.

Tak hanya diramaikan oleh polemik antarpolitisi, simpatisan, pendukung, atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya, balada Pilpres sudah membuat polarisasi masyarakat semakin tajam. Soal ucapan Selamat Natal ramai dipolemikkan, melalui potongan-potongan gambar atau video yang viral dan menggelikan. Potongan-potongan video ini disajikan bak menu makanan siap saji, "digoreng" sedemikian rupa, disisipi bumbu-bumbu politik yang menyesatkan. 

Mungkin hanya di Pilpres kali ini saja, identitas sosial-keagamaan semakin laku keras dinikmati masyarakat bahkan disantap demi pemenuhan selera politik mereka yang "kelaparan", bahkan diaduk-aduk sedemikian rupa, seraya berharap meninggalkan aroma yang sedap untuk sekadar dinikmati atau diapresiasi.

Polemik ucapan selamat Natal seakan muncul kembali dalam versinya sendiri, mengikuti ritme kepolitikan dalam dramaturgi balada Pilpres. Saya tidak ingin melampaui fatwa para ulama yang memang sudah sejak lama berbeda pendapat soal ini, sekalipun yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" dipastikan lebih banyak daripada yang melarangnya. 

Saya sendiri meyakini, bahwa wasiat Rasulullah mengenai "afsyu as-salaam" yang berarti "sebarkan salam dan kedamaian" tentu saja berlaku umum dalam seluruh konteks sosial-politik yang tak membedakan situasi dan kondisi apapun. Remeh-temeh politik ternyata mampu mengubah wajah Indonesia yang dulu "ramah" menjadi "marah", bahkan situasi yang dulu "damai" kini berubah "seringai".

Bukan itu saja, terkait musibah yang bertubi-tubi melanda negeri ini tak jarang dimanipulasi oleh kerakusan kepentingan kekuasaan yang justru semakin menambah suram wajah-wajah "sumringah"  di negeri ini. 

Balada Pilpres memang terasa "memecah-belah", bahkan muncul ancaman pesimistis segelintir politisi yang berilusi akan kepunahan bangsanya sendiri. 

Balada Pilpres malah semakin mempertanyakan realitas heterogenitas masyarakat kita, karena semakin tampak kehilangan substansinya akibat terpecah-pecah dalam serpihan-serpihan kecil komunal yang "homogen" secara ideologis.

 Mereka seperti lupa, bahwa bangsa ini menjadi besar karena mampu menyatukan banyak perbedaan, lalu meleburnya dalam identitas kultur politik kebangsaan yang sedemikian kuat.

Balada Pilpres ternyata tak sekadar "copras-capres" yang hampir setiap waktu memenuhi lini media, karena dalam sisi kehidupan nyata, setiap orang justru mengakrabkan dirinya dengan riuh kepolitikan yang sedikit banyak menjungkirbalikkan akal sehat. 

Wacana apapun yang dibangun---sekalipun itu tak terkait politik---pasti mau tidak mau harus rela dikaitkan dengan nuansa kepolitikan yang ketat, kepada pihak mana sesungguhnya dukungan politik anda berlabuh. 

Saya kira, rentetan musibah yang terjadi di berbagai belahan bumi pertiwi, yang dirasa mampu menyatukan setiap perbedaan, tentu saja tidak seluruhnya dapat dibuktikan. Cara berpikir masyarakat kita ternyata berubah, bahkan mindset publik kebanyakan bergeser sedemikian rupa menunjukkan adanya perbedaan antara "anda" dan "saya", bahkan "kami" dan "kalian".

Haruskah "yang waras jangan ngalah"? Atau sebaliknya, kita terus memupuk kewarasan berpikir kita agar tak ikut-ikutan menjadi pribadi yang "tak waras"? Atau memang kita kadung terlilit arus polemik yang semakin lama semakin mengikis kewarasan berpikir kita, sehingga kitapun terpapar dalam pusaran ketidakwarasan? 

Balada Pilpres memang telah menggiring sedikit banyak aspek kewarasan berpikir banyak orang yang jika terus dibiarkan mungkin saja akan berubah menjadi polemik berkepanjangan dan akhirnya memicu konflik komunal yang justru menghancurkan. 

Semoga rangkaian kontestasi politik kali ini hanya sebatas menjadi "balada", diingat banyak orang dan menjadi sejarah paling paling mengharukan sepanjang kepolitikan bangsa ini, tanpa harus mencabik-cabik idealitas kebangsaan dan keumatan yang sejauh ini telah terpelihara dengan baik.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun