Pertanyaannya, apakah balada Pilpres ini akan berakhir setelah pemilu di tahun depan? Belum tentu juga, karena perubahan mindset tentu saja tak akan menghentikan proses polarisasi masyarakat dalam skala besar sosial-politik sejauh ini.Â
Polarisasi ini tentu saja terkait erat dengan kemunculan  rangkaian berbagai drama politik yang teramat sulit dilupakan dalam setiap ingatan masyarakat. Polemik dalam masyarakat semakin mudah terjadi, bahkan tak jarang menuai konflik berkepanjangan, sekalipun hanya berkutat pada ruang-ruang pemikiran dan perbedaan pendapat.Â
Namun, tak menutup kemungkinan, ruang-ruang kemanusiaan yang seringkali diisi beragam polemik akan lebih banyak membuka ruang-ruang baru konflik dalam skala komunal yang lebih besar.
Tak hanya diramaikan oleh polemik antarpolitisi, simpatisan, pendukung, atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya, balada Pilpres sudah membuat polarisasi masyarakat semakin tajam. Soal ucapan Selamat Natal ramai dipolemikkan, melalui potongan-potongan gambar atau video yang viral dan menggelikan. Potongan-potongan video ini disajikan bak menu makanan siap saji, "digoreng" sedemikian rupa, disisipi bumbu-bumbu politik yang menyesatkan.Â
Mungkin hanya di Pilpres kali ini saja, identitas sosial-keagamaan semakin laku keras dinikmati masyarakat bahkan disantap demi pemenuhan selera politik mereka yang "kelaparan", bahkan diaduk-aduk sedemikian rupa, seraya berharap meninggalkan aroma yang sedap untuk sekadar dinikmati atau diapresiasi.
Polemik ucapan selamat Natal seakan muncul kembali dalam versinya sendiri, mengikuti ritme kepolitikan dalam dramaturgi balada Pilpres. Saya tidak ingin melampaui fatwa para ulama yang memang sudah sejak lama berbeda pendapat soal ini, sekalipun yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" dipastikan lebih banyak daripada yang melarangnya.Â
Saya sendiri meyakini, bahwa wasiat Rasulullah mengenai "afsyu as-salaam" yang berarti "sebarkan salam dan kedamaian" tentu saja berlaku umum dalam seluruh konteks sosial-politik yang tak membedakan situasi dan kondisi apapun. Remeh-temeh politik ternyata mampu mengubah wajah Indonesia yang dulu "ramah" menjadi "marah", bahkan situasi yang dulu "damai" kini berubah "seringai".
Bukan itu saja, terkait musibah yang bertubi-tubi melanda negeri ini tak jarang dimanipulasi oleh kerakusan kepentingan kekuasaan yang justru semakin menambah suram wajah-wajah "sumringah" Â di negeri ini.Â
Balada Pilpres memang terasa "memecah-belah", bahkan muncul ancaman pesimistis segelintir politisi yang berilusi akan kepunahan bangsanya sendiri.Â
Balada Pilpres malah semakin mempertanyakan realitas heterogenitas masyarakat kita, karena semakin tampak kehilangan substansinya akibat terpecah-pecah dalam serpihan-serpihan kecil komunal yang "homogen" secara ideologis.
 Mereka seperti lupa, bahwa bangsa ini menjadi besar karena mampu menyatukan banyak perbedaan, lalu meleburnya dalam identitas kultur politik kebangsaan yang sedemikian kuat.