Dunia pendidikan kita telah tercoreng bahkan bopeng-bopeng, demikian di antara sekian banyak kritik yang mengarah ke wajah dunia pendidikan kita yang belakangan disorot dan diterpa berbagai isu yang kurang sedap.
Dari mulai soal integritas moral yang dipertanyakan terhadap para akademisinya---termasuk para guru dan tenaga pengajar---sampai pada soal menguatnya aspek radikalisme anak didik, membuat seakan dunia pendidikan kita tercemar polusi yang sangat luar biasa.Â
Para guru dan juga dosen seperti terus "dipaksa" mengikuti ritme standar asing berlomba-lomba sekadar mempertahankan eksistensi mereka dan mendapatkan tambahan biaya hidup atau sekadar menampilkan "identitas" keakademikannya, bukan soal bagaimana prestasinya memberikan manfaat kepada khalayak.
Kapitalisme global sepertinya telah membuat para guru dan tenaga pengajar lainnya mengejar keuntungan keekonomian dan jauh dari cita-cita membangun peradaban manusia lewat edukasi. Seakan tak pernah ada kesesuaian antara ilmu dan amal yang dalam dunia pesantren begitu sangat dijunjung tinggi dan diperhatikan.
Para guru yang begitu diagungkan dan dihormati, mungkin saat ini sulit didapati di berbagai lembaga pendidikan modern.Â
Kecuali pesantren, hampir wajah dunia pendidikan di luar itu kehilangan integritas moralnya, terpinggirkan oleh aspek hasrat popularitas dan tentu saja tradisi pragmatisme yang hanya mengejar keuntungan materi.
Saya kira, kajian soal buruknya dunia pendidikan yang cenderung mementingkan kepentingan internalnya sendiri, Â menjauhkan jarak dari masyarakat, menambah suram dunia pendidikan kita saat ini.
Dulu, saya sering diajarkan soal norma-norma pendidikan yang diajarkan di pesantren. Seorang guru adalah sosok terhormat yang hampir anti-kritik, walaupun setiap pertanyaan atau kritik yang diajukan para santri tentu saja ditanggapi dengan baik oleh para guru di pesantren.Â
Tak ada ucapan penghinaan, apalagi kritik yang langsung membongkar kelemahan pribadi sang guru, karena hal itu jelas akan menjadi "bencana" bagi proses transmisi keilmuan antara santri dan guru.
 Tak menghormati guru, berarti konsekuensi seluruh ilmu yang dimiliki santri tak bermanfaat dalam artian tak akan menyerap kedalam sisi kognitifnya dan gagal mewujud dalam aktualisasi dirinya selepas ia menyelesaikan pendidikannya di pesantren.
Saat ini, peran guru tidaklah sentral dalam seluruh aspek pendidikan dunia modern, ia sekadar "partner" atau "pembimbing" yang tak ambil pusing dengan kualitas anak didiknya karena yang penting bagaimana ia dan keluarganya sejahtera.
 Lihat saja kenyataannya, banyak guru yang terobsesi sertifikasi atau para akademisi yang mengejar kenaikan pangkat dengan menulis di jurnal ilmiah bereputasi. Semua yang dikejar bukan semata-mata soal peningkatan kualitas yang dapat meningkatkan peran pengajar menjadi lebih "merakyat" ditengah-tengah para pelajarnya.
Mungkin saja kemudian adagium "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" menjadi terbukti dimana guru tak lagi dihormati karena terlampau sibuk mengurusi keuntungan materi dan ikatan guru-murid-pun seringkali diukur dengan aspek kematerian.
Mungkin tak berlebihan, jika saya membandingkan betapa aspek pendidikan di zaman saya dulu sangat berbeda tajam dengan sekarang. Ketika saya sekolah, guru yang melempar penggaris atau penghapus ketika saya tertidur di kelas, tak menjadi masalah bahkan hal itu dianggap wajar.Â
Etika seorang murid kepada guru dengan menyadari bahwa itu adalah kesalahannya dalam menyepelekan proses belajar mengajar, tak kemudian membuat laporan kepada polisi bahwa dirinya dianiaya guru.Â
Lalu, bagaimana dengan pelaporan seorang mahasiswa yang memperkarakan rektornya sendiri akibat disertasinya tak ditandatangani? Hampir tak ada ikatan batin atau integritas moral yang hidup antara murid dan guru, yang ada justru kepentingan pribadi dalam kungkungan pragmatisme keekonomian.
Saya justru semakin menyadari, betapa dunia pesantren yang saat ini tetap hidup telah membangun suatu tradisi yang sangat kuat, dimana proses transmisi keilmuan itu didasarkan oleh nuansa ikatan batin, sehingga aspek pesantren tampak lebih dekat kepada masyarakat dan sangat berbeda jauh dengan wujud pendidikan modern lainnya belakangan ini.
 Ikatan murid-guru begitu sangat mengakar, sehingga hampir tak ada istilah santri yang durhaka kepada gurunya, apapun alasannya. Ditengah bopengnya wajah pendidikan saat ini, dengan beragam kasus yang semakin mengaburkan makna murid-guru dalam kelindan keilmuan dalam dunia pendidikan, rasa-rasanya pola pendidikan pesantren perlu ditinjau ulang untuk dihidupkan dalam suasana pendidikan modern saat ini.
Pendidikan pesantren memungkinkan geliat peradaban menguat dengan menyasar aspek moral dan kemanusiaan yang dapat memberikan "sentuhan" agar bopeng wajah pendidikan kita terkurangi. Sejauh yang dirasakan, kekuatan moral dan daya responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakat sangat-sangat terpinggirkan.
 Dunia pendidikan modern lebih kuat mengedepankan aspek bisnis dengan beragam hitung-hitungan yang berdampak ekonomis, tak lagi memperhatikan bagaimana seharusnya pendidikan dapat mengubah cara pandang masyarakat lebih berkemajuan dan berkedaban.Â
Benarkah hal ini merupakan dampak dari globalisasi dan internasionalisasi di berbagai belahan dunia, sehingga memaksa dunia pendidikan kita menghamba? Mungkin hanya pesantren---dan itupun yang masih menerapkan sistem pendidikan tradisional---yang sampai kini tetap bertahan ditengah gempuran modernisasi, mengedepankan cita moralitas pendidikan yang harmonis. Â
Semakin banyaknya kasus yang mencuat ditengah publik yang hampir keseluruhannya mendegradasi nilai-nilai moral---terutama hubungan guru dan murid---sudah sepatutnya disadari dan diperbaiki.
 Dunia pendidikan yang semakin mahal ditambah beban moral yang belakangan seringkali menjadi sorotan masyarakat terhadap berbagai lembaga pendidikan, belum lagi ditambah soal kebutuhan hidup para guru yang semakin meningkat dan life style yang selalu mengikuti arus perubahan zaman, semakin membuka peluang lembaga pendidikan sebagai ajang bisnis yang serba pragmatis.Â
Wajar saja jika aspek moral terpinggirkan, relasi guru-murid terabaikan, dan bahkan pendidikan semakin tak dapat menjawab kebutuhan masyarakat, kecuali hanya sebatas saling menguntungkan secara keekonomian.
Saya justru membayangkan, betapa dulu tradisi pendidikan di pesantren yang memuliakan para guru sekaligus menyayangi para murid terasa sangat membekas setelah puluhan tahun berlalu.Â
Soal guru yang "menjewer" para murid tentu saja didasarkan atas rasa sayang agar para muridnya justru tetap fokus dalam menyelami setiap ilmu yang diajarkan.Â
Tak perlu ada rasa "direndahkan" terlebih "dihinakan" karena para guru tentu saja berbuat sesuai dengan kapasitas ilmu pengetahuan yang dimilikinya.Â
Ikatan batin antara guru-murid itu tak sebatas diterjemahkan secara emosional, namun lebih dari itu, ada nilai-nilai moral yang sedang ditancapkan sedemikian kuat agar satu sama lain saling menghormati, menjaga, dan memuliakan.Â
Mungkinkah tradisi pesantren ini dihidupkan di tengah dunia pendidikan modern saat ini? Atau paling tidak kita dapat mengadopsi nilai-nilai moralnya soal ikatan-ikatan emosional guru-murid untuk mengurangi bopeng wajah pendidikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H