Lihat saja kenyataannya, banyak guru yang terobsesi sertifikasi atau para akademisi yang mengejar kenaikan pangkat dengan menulis di jurnal ilmiah bereputasi. Semua yang dikejar bukan semata-mata soal peningkatan kualitas yang dapat meningkatkan peran pengajar menjadi lebih "merakyat" ditengah-tengah para pelajarnya.
Mungkin saja kemudian adagium "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" menjadi terbukti dimana guru tak lagi dihormati karena terlampau sibuk mengurusi keuntungan materi dan ikatan guru-murid-pun seringkali diukur dengan aspek kematerian.
Mungkin tak berlebihan, jika saya membandingkan betapa aspek pendidikan di zaman saya dulu sangat berbeda tajam dengan sekarang. Ketika saya sekolah, guru yang melempar penggaris atau penghapus ketika saya tertidur di kelas, tak menjadi masalah bahkan hal itu dianggap wajar.Â
Etika seorang murid kepada guru dengan menyadari bahwa itu adalah kesalahannya dalam menyepelekan proses belajar mengajar, tak kemudian membuat laporan kepada polisi bahwa dirinya dianiaya guru.Â
Lalu, bagaimana dengan pelaporan seorang mahasiswa yang memperkarakan rektornya sendiri akibat disertasinya tak ditandatangani? Hampir tak ada ikatan batin atau integritas moral yang hidup antara murid dan guru, yang ada justru kepentingan pribadi dalam kungkungan pragmatisme keekonomian.
Saya justru semakin menyadari, betapa dunia pesantren yang saat ini tetap hidup telah membangun suatu tradisi yang sangat kuat, dimana proses transmisi keilmuan itu didasarkan oleh nuansa ikatan batin, sehingga aspek pesantren tampak lebih dekat kepada masyarakat dan sangat berbeda jauh dengan wujud pendidikan modern lainnya belakangan ini.
 Ikatan murid-guru begitu sangat mengakar, sehingga hampir tak ada istilah santri yang durhaka kepada gurunya, apapun alasannya. Ditengah bopengnya wajah pendidikan saat ini, dengan beragam kasus yang semakin mengaburkan makna murid-guru dalam kelindan keilmuan dalam dunia pendidikan, rasa-rasanya pola pendidikan pesantren perlu ditinjau ulang untuk dihidupkan dalam suasana pendidikan modern saat ini.
Pendidikan pesantren memungkinkan geliat peradaban menguat dengan menyasar aspek moral dan kemanusiaan yang dapat memberikan "sentuhan" agar bopeng wajah pendidikan kita terkurangi. Sejauh yang dirasakan, kekuatan moral dan daya responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakat sangat-sangat terpinggirkan.
 Dunia pendidikan modern lebih kuat mengedepankan aspek bisnis dengan beragam hitung-hitungan yang berdampak ekonomis, tak lagi memperhatikan bagaimana seharusnya pendidikan dapat mengubah cara pandang masyarakat lebih berkemajuan dan berkedaban.Â
Benarkah hal ini merupakan dampak dari globalisasi dan internasionalisasi di berbagai belahan dunia, sehingga memaksa dunia pendidikan kita menghamba? Mungkin hanya pesantren---dan itupun yang masih menerapkan sistem pendidikan tradisional---yang sampai kini tetap bertahan ditengah gempuran modernisasi, mengedepankan cita moralitas pendidikan yang harmonis. Â
Semakin banyaknya kasus yang mencuat ditengah publik yang hampir keseluruhannya mendegradasi nilai-nilai moral---terutama hubungan guru dan murid---sudah sepatutnya disadari dan diperbaiki.