Padahal, simbol bukanlah hal substansial yang perlu diperebutkan apalagi dipermasalahkan, sebab yang substantif itu bagaimana kita menyadari betapa nilai-nilai keadilan yang sangat fundamental justru tercerabut dari akarnya dan kita "dipaksa" menanggalkannya.Â
Kita "dipaksa" untuk terus menjauh dari nilai-nilai keadilan yang substantif-fundamental, lalu digiring untuk lebih dekat dan kagum kepada hal-hal yang simbolik-atributif.
Bukan atas nama keadilan, jika masih banyak diantara kita memperebutkan hal-hal simbolik, lalu bangga atas ketidakadilan yang diciptakan sendiri. Cara pandang moderat yang linier dengan kearifan lokal, tradisi, budaya, bahkan agama semakin kehilangan entitasnya tergantikan oleh daya dobrak pragmatisme pribadi atau kepentingan kelompok.Â
Tanpa sadar kita sendiri yang menjauh dari nilai-nilai keadilan, padahal kita sendiri mengaku Pancasilais, bahkan Agamis! Kita seakan didorong dengan kekuatan penuh dan angkuh, tak ada keadilan bagi mereka yang telah berbuat tidak adil terhadap kelompok kami!Â
Keadilan itu sudah mati, terkubur, dan tak mungkin hidup lagi, kecuali oleh hati yang masih punya "rasa" dan peka dimana keadilan itu penting sebagai suatu cara pandang atau bersikap yang lebih banyak diterima semua orang. Berbuat adillah, karena sunggung adil itu lebih dekat kepada takwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H