Gejolak sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat, tentu saja terkait erat dengan fenomena ketidakadilan yang terjadi. Peristiwa apapun yang kemudian menimbulkan gejolak, hampir dipastikan karena tercerabutnya nilai-nilai keadilan dalam suatu masyarakat, entah itu akibat para penguasanya atau tekanan-tekanan dari masing-masing pihak yang terlalu mendominasi.Â
Di Indonesia saja, fenomena ketidakadilan itu hampir menyentuh titik nadirnya, dimana dapat dirasakan dari berbagai gejolak sosial yang timbul hampir dari waktu ke waktu.Â
Ada benarnya bahwa kita tak hanya dijauhkan dari nilai-nilai Pancasila, tetapi justru malah meninggalkannya. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia serasa jauh panggang dari api, melihat dari sekian rentetan gejolak yang terjadi bertubi-tubi.
Suatu peristiwa memang dapat dimaknai secara berbeda oleh masing-masing pihak, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Ada pihak yang merasa dilecehkan karena simbolnya dirusak, lalu beramai-ramai mengutuk sampai-sampai yang tidak paham duduk masalahnya juga ikut-ikutan berbuat anarkis.Â
Disisi lain, simbol itu  dianggap sebuah "perlawanan" terhadap negara sekaligus agama, sehingga sudah sepantasnya dihancurkan. Tak ada istilah menahan diri bagi masing-masing pihak, karena yang ada hanyalah klaim kebenaran masing-masing yang terus menerus digulirkan. Hampir tak ada pihak yang mampu "menengahi" (adil) karena memang sejatinya, sikap adil telah semakin menjauh dan menjadi sulit ditemukan belakangan ini.
Saya sendiri meyakini, berlaku adil dalam segala hal, justru lebih dekat kepada kebenaran, atau dalam bahasa agama, "lebih dekat kepada ketakwaan". Dengan demikian, menjauhkan dari sikap adil, tentu saja jauh dari kebenaran dan tentu saja secara agama, semakin menjauhkan dari kebaikan dan takwa.Â
Lalu, adakah upaya pihak ketiga yang memang menjauhkan pihak-pihak berkonflik dari kebenaran? Mungkin saja iya, melihat dari beragam fenomena gejolak sosial yang marak belakangan ini, justru memanfaatkan pihak-pihak tertentu agar jangan bersikap adil. Padahal, nilai-nilai keadilan yang semestinya kita pedomani dari sila ke-2 Pancasila, ternyata tak pernah terealisasikan.
Menarik sebenarnya ketika saya mencoba menelusuri kata "adil" ini yang memang berasal dari bahasa Arab,"'adala" yang berkonotasi pada "suatu kondisi yang berada diantara dua titik ekstrim, menjauhi sikap zalim dan permusuhan".Â
Sikap adil ini seringkali diidentikkan dengan suatu kecenderungan bersikap moderat, tawazun (seimbang), atau tawasuth (pertengahan) yang didaulat sebagai basis utama pemikiran kelompok muslim moderat yang beraliran Sunni.Â
Saya kira, muslim Indonesia dalam banyak hal justru moderat, walaupun belakangan tampak semakin memudar seiring dengan arus perubahan sosial serta dinamika politik-keagamaan yang mengental.Â
Jika bersikap adil berarti mampu berbuat "seimbang" dalam relasi-relasi sosial dengan tanpa dibebani konotasi kezaliman dan permusuhan, jelas itu adalah maksud utama dari sila ke-2 Pancasila.