Berbagai rentetan bencana alam yang terjadi di Bumi Pertiwi ini memang seharusnya dipandang sebagai suatu nasehat, tidak semata-mata murni sebagai fenomena alam. Tak ada satu mahlukpun yang sanggup menahan bencana yang terjadi, bahkan tak ada satupun yang mengetahui pasti kapan dan dimana bencana itu akan datang.
Namun demikian, mengklaim bahwa bencana adalah terkait dengan pagelaran tradisi atau adat yang dianggap maksiat, sepertinya hanya perspektif kebenaran pribadi yang mungkin bisa benar dan tentu saja bisa salah.
Hal inilah yang kemudian belakangan menjadi isu hangat soal pagelaran budaya warisan tradisi masa lalu yang ditolak sebagian orang karena dianggap sebagai pemicu terjadinya bencana.
Setelah tradisi Sedekah Laut di Bantul digagalkan karena dalih kemaksiatan, kini muncul penolakan serupa atas pagelaran Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi yang diramaikan oleh para penari adat di pinggir pantai ini, konon mewarisi tradisi Kerajaan Blambangan sejak abad 16.
Tari Gandrung ini seperti yang dijelaskan dalam situs Kemendikbud merupakan tarian khas Banyuwangi yang merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat setelah panen.
Dulu, para penari Gandrung ini kebanyakan pria, namun setelah ajaran Islam masuk ke Banyuwangi perlahan digantikan oleh para penari wanita, karena Islam tidak memperbolehkan pria berpakaian seperti wanita.
Lalu, sejauh mana sesungguhnya agama memandang suatu adat atau tradisi sebagai bentuk kemaksiatan? Saya kira, semua agama sepakat apa yang dimaksud dengan "maksiat" itu sendiri. Perbuatan maksiat jelas perbuatan merusak yang berdampak kepada diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Hal ini jelas ketika istilah "ma'siyyah" yang mamang berasal dari bahasa Arab diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan atau menyimpang" (mukhalifah) dan "hilangnya ketaatan" ('adamut tha'ah). Kemaksiatan pasti akan bertentangan dengan akal sehat karena dianggap perbuatan buruk yang merugikan, termasuk melanggar aturan Tuhan karena ketidaktaatan yang berdampak  tercerabutnya "ketundukan" dan "kepatuhan" kepada Tuhan.
Agama dalam hal ini tentu saja membimbing manusia agar mau dinasehati oleh akal sehatnya dan aturan-aturan Ketuhanan yang diyakininya. Prinsip "nasehat" dalam ajaran agama tentu saja sangat fundamental, karena hampir seluruh ajaran agama berbicara dan mengajak kepada seluruh kebaikan dan kemanfaatan dan menolak segala keburukan dan prilaku yang merusak.
Itulah sebabnya, Nabi Muhammad memandang prinsip nasehat sebagai inti dari ajaran agama, dengan menyatakan, "agama itu nasehat" (addiinun nasihah).
Nasehat tentu saja identik dengan bagaimana caranya kita memberikan perlakuan secara baik, hormat-menghormati, toleransi, atau menonjolkan lebih kuat sisi moralitas seraya menjauhi aspek klaim kebenaran sendiri, menciptakan ketakutan, atau melakukan pemaksaan dengan merusak, mencederai, atau memersekusi.
Menariknya, salah satu ormas Islam yang seringkali dipandang selalu menggunakan cara-cara kekerasan dalam melibas segala kemaksiatan, justru memegang teguh prinsip "agama itu nasehat" ketika menolak pagelaran Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi.
Hal ini patut ditiru karena bagaimanapun, prinsip nasehat tampak lebih soft dalam menyelesaikan banyak masalah dan tak akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar lagi.
Nasehat berarti menyampaikan pendapat pribadi yang didukung kebenaran-kebenaran keagamaan, tanpa harus "memaksa" pihak lain menerima apa yang kita nasehatkan.
Secara pribadi saya melihat, suatu adat atau tradisi yang memang telah hidup dan berkembang ditengah masyarakat, merupakan satu kekayaan budaya yang hampir-hampir tak pernah ada yang bersifat merusak.
Bertentangankah adat dengan akal sehat? Ataukah mungkin terdapat unsur-unsur ritual tradisinya yang mempertontonkan penyimpangan dari ajaran-ajaran agama?
Jika memang ada, berikanlah nasehat melalui musyawarah dan ubahlah ritual yang mengajak kepada kemaksiatan tanpa harus memberangus tradisi asalnya yang tidak merusak dan bertentangan.
Perlu juga diketahui, agama tentu saja identik dengan adat atau segala hal yang diikuti oleh pemeluknya secara turun-temurun, demikianlah ketika salah seorang pakar bahasa dan sejarah Islam, Ibnul Mundzir mendefinisikan agama secara etimologis.
Saya dalam hal ini bukan sedang berapologi untuk membela adat atau tradisi yang dipandang "menyimpang" atau "bertentangan" dengan ajaran agama. Karena bagi saya, tradisi, adat, atau budaya belakangan ini sekadar menjadi sebuah seni yang dipertunjukkan kepada khalayak, tak lagi diyakini sebagai kepercayaan leluhur yang mengandung unsur-unsur kemusyrikan.
Hampir dipastikan, mengangkat citra tradisi dan budaya melalui berbagai laku seni, semata-mata untuk menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Nusantara, tanpa harus dipertentangkan sama sekali dengan keyakinan agama.
Bahkan, tak hanya soal tradisi seperti tarian, persembahan, atau laku kesenian lainnya, soal kenduren, tahlilan, atau selametan tetap saja ada yang menganggap bagian dari penyimpangan agama bahkan kemusyrikan.
Bukan juga saya menjadi seorang permisif, yang segala sesuatu dianggap boleh dan tak ada pertentangan. Saya meyakini, bahwa ajaran Islam-pun sangat memandang pentingnya adat karena adat termasuk bagian dari hukum yang telah disepakati.
Terdapat kaidah ushul fiqh yang menyebutkan, bahwa "adat itu bisa dijadikan dasar hukum" (al-'aadatu muhkamatun). Imam al-Jurjani seorang ilmuwan dan sastrwan kenamaan muslim yang mendapat gelar "qadli al-qudhat" (hakim para hakim) dengan sangat yakinnya menyebut, bahwa "al-'aadatus tamarra nafsi 'alaih 'ala hukmil 'uquul wa 'aadi ilaihi marratan ba'da ukhra" (adat ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus).
Disinilah pentingnya agama sebagai nasehat, bukan sebatas doktrin yang kaku dan hitam-putih jika dihadapkan dengan realitas sosial kemasyarakatan.
Ketika agama diyakini menjadi nasehat, maka dipastikan ia akan dapat membentuk kebaikan kepada diri pribadinya terlebih dahulu, sebelum kemudian menasehati pihak lain agar sesuai dengan prilaku baiknya yang telah dibentuk oleh nasehat agama.
Lagi pula, sisi fundamental agama sebagai nasehat seharusnya menjadi basis utama paling dalam yang sudah harus tertanam terlebih dahulu secara mantap dalam hati setiap orang. Nasehat adalah ahlak dan moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan sekaligus kemanusiaan, sehingga setiap apa yang dikatakan atau diperbuatnya cermin dari agama yang telah diperkuat oleh aspek moralitas yang senantiasa ternasehati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H