Terdapat kaidah ushul fiqh yang menyebutkan, bahwa "adat itu bisa dijadikan dasar hukum" (al-'aadatu muhkamatun). Imam al-Jurjani seorang ilmuwan dan sastrwan kenamaan muslim yang mendapat gelar "qadli al-qudhat" (hakim para hakim) dengan sangat yakinnya menyebut, bahwa "al-'aadatus tamarra nafsi 'alaih 'ala hukmil 'uquul wa 'aadi ilaihi marratan ba'da ukhra" (adat ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus).
Disinilah pentingnya agama sebagai nasehat, bukan sebatas doktrin yang kaku dan hitam-putih jika dihadapkan dengan realitas sosial kemasyarakatan.
Ketika agama diyakini menjadi nasehat, maka dipastikan ia akan dapat membentuk kebaikan kepada diri pribadinya terlebih dahulu, sebelum kemudian menasehati pihak lain agar sesuai dengan prilaku baiknya yang telah dibentuk oleh nasehat agama.
Lagi pula, sisi fundamental agama sebagai nasehat seharusnya menjadi basis utama paling dalam yang sudah harus tertanam terlebih dahulu secara mantap dalam hati setiap orang. Nasehat adalah ahlak dan moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan sekaligus kemanusiaan, sehingga setiap apa yang dikatakan atau diperbuatnya cermin dari agama yang telah diperkuat oleh aspek moralitas yang senantiasa ternasehati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H