Kita juga tak bisa menutup mata, bahwa memang selalu saja menuai polemik terhadap setiap pernyataan atau pidato yang dilakukan Kiai Said.
Bahkan tak jarang, muncul klaim dari internal NU sendiri yang tak sejalan dengan NU dibawah kepemimpinan Kiai Said. Lalu, mereka membandingkannya dengan periode-periode sebelumnya, seperti misalnya kondisi NU ketika masih dibawah kendali almarhum KH Hasyim Muzadi.
Pada masa itu, NU minim konflik dan mungkin tak tampak menonjol soal gairah kekuasaan politiknya. Lain halnya dengan masa ini, dua periode Kiai Said memimpin NU, sudah tampak aroma konflik yang semakin menyengat.
Saya sendiri merasakan, sebagai bagian dari NU kultural, betapa nuansa pro-kontra itu ada, terlebih di ajang tahun politik sekarang ini. Keberadaan kubu "struktural" dan "kultural" di tubuh internal NU tampak terus berebut pengaruh. Rafleksi politik NU yang seharusnya tetap konsisten mengusung ideologi "jalan tengah" sebagaimana prinsip-prinsip yang tertuang dalam garis besar Aswaja, justru belakangan mulai tampak terganggu.
Tak ada lagi wujud netralitas politik, jika melihat dari setiap pernyataan yang seringkali diungkapkan Kiai Said. Refleksi politik yang sedianya membaca dan mengingat kembali kenyataan sejarah soal sikap kepolitikan NU dalam merawat dan menjaga NKRI dengan berpegang pada prinsip jalan tengah, justru bagi saya terkesan mulai goyah.
Itulah saya kira, kekhawatiran Gus Mus pada ajang Muktamar NU di Jombang yang perlu kembali direnungkan secara mendalam.
"Saya malu kepada Allah SWT, malu kepada mbah Hasyim Asyari, mbah Wahab Chasbullah dan para pendahulu kita". Ungkapan ini bukan sekadar bahasa verbal yang saat itu sekadar menenangkan para muktamirin, tapi perlu lebih jauh dipahami, di mana nilai-nilai kultural NU terletak pada kekuatan para pendahulunya yang senantiasa "mendamaikan", berada pada prinsip "jalan tengah" sehingga mampu meminimalisir konflik, bukan memaksimalkannya.
Saya kira, membaca buku "NU Penjaga NKRI" pada akhirnya akan lebih jauh merefleksikan, bahwa keberadaan NU ditengah umat, tidak diukur dari realitas "strukturalnya" tetapi bagaimana menyerap kultur yang sekian lama ditanamkan oleh para pendahulunya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H