Penerimaan yang mudah terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal dan digulirkannya fatwa tentang "Resolusi Jihad" adalah contoh nyata sikap politik NU.
NU pula yang menjadi garda depan penjaga tradisi Nusantara, menyemai budaya pesantren dan bersikap luwes terhadap praktik-praktik tradisi dan kepercayaan masyarakat, tanpa mempertentangkannya sedikitpun.
Keseluruhan sikap ini tertuang dalam prinsip tasamuh, tawazun, dan tawasuth yang tertuang dalam garis besar kepolitikan NU. Â
Bagi saya, kekuatan NU justru lebih nampak dari sisi kultural-nya, dimana jaringan-jaringan keulamaan yang sedemikian kuat, membentuk semacam ikatan-ikatan kulturnya tersendiri.
Hubungan kiai-santri yang terhimpun dalam matarantai keilmuan tradisi pesantren, menjadikan NU "kultural" justru tampak semakin besar dan kuat.
Besarnya jumlah warga NU yang terafiliasi secara kultural, tidak selalu asimetris dengan kenyataan politik struktural-nya.
Sikap PBNU secara politik, misalnya, belum tentu adalah perwujudan dari sikap NU itu sendiri. Itulah barangkali yang kemudian menjadikan asumsi, dimana NU secara kultural memang tampak akomodatif terhadap kekuasaan, berbeda dengan strukturalnya yang mungkin pro-aktif terhadapnya.
Dinamika "struktural" dan "kultural" dalam perjalanan NU pun selalu penuh dengan kejutan. Dari muktamar ke muktamar, tampak terekam nuansa politik yang cukup kental, karena selalu saja  terjadi tarik-menarik antarkubu keduanya.
Saya kira, tangisan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) ketika terjadi kekisruhan di Muktamar 33 NU Jombang adalah wujud kekecewaannya terhadap politisasi kelompok struktural yang "merusak" kultur-nya sendiri.
Hal ini, tentu bisa saja mencederai nilai-nilai persatuan dan kebangsaan, akibat gairah kekuasaan yang tak terkendali.
Terkadang saya melihat, seakan gerakan "struktural" NU dibawah kepemimpinan Kiai Said seperti berjalan sendiri, ditengah arus bawah kultural NU yang acapkali menentangnya.