Setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 57 tahun 2016, sebentar lagi Indonesia akan memiliki kampus Islam bertaraf internasional yang pembangunannya segera direalisasikan di wilayah Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Kampus yang diberi nama Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini dibangun melalui pembiayaan APBN sebesar 400 miliar dengan luas lokasi sekitar 143 hektar.Â
Walaupun rencana pendiriannya sempat dipertanyakan oleh beberapa pihak, namun keinginan pemerintah untuk menjadikan UIII sebagai proyeksi bagi Islam moderat di Indonesia, tak terelakkan. Keberadaan UIII ini pernah disinyalir akan mengganggu keberadaan Universitas Islam Negeri (UIN) yang belakangan semakin mengembangkan diri dan tetap menjadi bagian dari prospek besar perkembangan Islam moderat di Indonesia.
Di tengah menyeruaknya isu soal penelantaran situs "Rumah Cimanggis" oleh beberapa orang, terkait dengan pembangunan kampus UIII, justru ditepis oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK).Â
Baginya, membangun kampus bertaraf internasional adalah bagian dari prospek masa depan, yang tak ada hubungannya dengan bangunan situs yang merepresentasikan masa lalu. JK menilai, situs Rumah Cimanggis yang dipersoalkan sebagian orang, bukanlah situs sejarah yang mesti dipertahankan, terlebih pembangunan kampus UIII tak akan mengganggu situs "bersejarah" tersebut.
Dengan sangat meyakinkan, JK tampaknya keukeuh segera membangun UIII, mengingat kampus ini akan diharapkan mampu menjadi "kiblat" bagi peradaban Islam dunia.
Sering muncul banyak pertanyaan, jika memang prospek Islam moderat akan bermula dari kampus yang segera akan dibangun ini, apakah terkait nanti dengan cara pandang civitas akademikanya yang harus juga berpaham moderat? Ataukah kampus ini akan mengajarkan moderasi Islam dengan memberi bobot keilmuan agama Islam dengan mengajarkan berbagai mazhab, seperti yang dilakukan Al-Azhar Mesir?
Saya kira, klaim atas cara pandang moderat sejauh ini, sulit diukur jika hanya melihat pada sistem atau konsep keilmuan agama Islam yang multi-mazhab saja, tetapi, moderatisme lebih banyak tumbuh dari sikap keberagamaan yang akomodatif terhadap berbagai perbedaan yang ada, baik tradisi, budaya, keyakinan, atau cara berpikir setiap orang.
Prospek Islam moderat yang dikukuhkan melalui pembangunan kampus UIII ini, secara tidak langsung juga merupakan "counter" atas maraknya kenyataan Islam yang digagas dalam bingkai "ekstrimisme", cenderung sulit menerima perbedaan dan bahkan selalu menghadirkan "klaim" kebenaran atas ajaran Islam dalam versi yang berbeda-beda tidak bermuatan universal.
Jika memang demikian, kampus-kampus Islam lainnya, seperti IAIN atau UIN, bisa saja dianggap kurang membawa nilai-nilai ajaran Islam yang moderat.
Padahal, kampus-kampus yang mengajarkan kajian keislaman, umumnya mengajarkan beragam corak pemikiran yang lintas mazhab, bahkan lintas keyakinan, karena adanya jurusan perbandingan agama di dalamnya. Bagi saya, klaim Islam moderat semestinya tidak menjadi domain salah satu pihak, jika pada akhirnya menganggap pihak lain malah tidak mencerminkan prinsip moderatisme dalam ajaran Islam.
Saya malah mengkhawatirkan, bahwa keberadaan UIII pada akhirnya hanya akan menjadi kompetitor bagi IAIN atau UIN yang sejauh ini digadang-gadang menjadi pusat kajian Islam Nusantara dan dunia. Alih-alih akan mendukung proyeksi Islam moderat, UIII malah semakin meredupkan kampus-kampus Islam lainnya, karena terdorong alasan bisnis.Â
Klaim "Islam moderat" semestinya memang tidak kemudian menjadi "komoditas politik" yang diperjual-belikan berbagai pihak, demi tujuan kepentingan keekonomian yang lebih menguntungkan. Membangun kampus atau lembaga pendidikan---apalagi spesifik dalam hal keilmuan tertentu---tentu saja harus sesuai tujuannya: mencerdaskan dan meningkatkan taraf pendidikan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Gaung Islam moderat memang sedang menjadi tren di dunia Islam, termasuk kenyataan Arab Saudi yang menjalankan serangkaian reformasinya dengan klaim mengembalikan Islam ke jalur yang sebenarnya, yaitu moderatisme.
Dominasi paham Wahabiah yang selama puluhan tahun hidup dan dijadikan "ideologi negara" oleh Arab Saudi pada akhirnya dianggap "gagal" karena seringkali berbenturan dengan aspek-aspek modernisasi dalam konteks pembangunan peradaban.
Islam moderat, kemudian dipandang sebagai ideologi yang mampu menyesuaikan dengan akselerasi peradaban, menerima kenyataan modernitas dan perubahan sosial, tanpa harus mempertentangkannya dengan nilai-nilai substansi ajaran Islam itu sendiri.
Jika terminologi Islam moderat terambil dari makna "Islam wasathiyah" yang selama ini menjadi ideologi pokok dalam garis besar ke-NU-an, mungkinkah keberadaan UIII pada akhirnya terkait dengan kepolitikan NU yang sejauh ini dipandang akomodatif terhadap pemerintah?Â
Sulit kiranya menebak-nebak ke mana arah proyeksi Islam moderat yang sejauh ini lekat dengan konsepsi pembangunan kampus yang memiliki standar internasional ini. Namun yang pasti, terdapat kepentingan yang kuat "tak kasat mata" dalam hal pembangunan UIII ini, jika dihubungkan dengan munculnya berbagai kritik, termasuk dari anggota DPR yang menyoal pembangunan kampus ini.Â
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Abdul Malik Haramain pernah meminta pemerintah mengkaji ulang soal pembangunan kampus ini, karena dikhawatirkan kontra produktif dengan kampus Islam lainnya.
Namun demikian, saya sepakat dengan prospek Islam moderat yang kemudian diperkuat oleh berdirinya kampus ini, selama kemudian dapat tetap melakukan sinergi positif dengan kampus-kampus lainnya yang se-"ideologi".
Kampus-kampus Islam---seperti UIN---yang saat ini berkembang pesat, harus juga dilibatkan dalam banyak hal, terutama dalam menggodok berbagai sistem kurikulum dan pembelajaran, termasuk melakukan kolaborasi para pengajarnya dengan tetap berpedoman pada aspek penguatan moderatisme Islam.
Prinsip moderatisme Islam sangatlah penting, karena selain tidak "kaku" dalam menafsir-ulang substansi ajaran-ajaran Islam, juga dapat lebih "luwes" dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan zaman.
Islam moderat jelas tercermin dari penerimaannya atas kenyataan perbedaan, keragaman pemikiran, dan tak memberlakukan "klaim" atas kebenaran subjektifnya sendiri.Â
Cara pandang kemoderatan Islam, tentu saja tidak melakukan "lompatan" terlampau jauh dari konteks otentisitas ajaran Islam, tetapi lebih banyak "menyesuaikan" seraya merekonstruksi ulang pemikiran-pemikiran masa lalu, sehingga seperti tetap "hidup" di masa kini dan tetap "cocok" di masa mendatang. Hal ini jelas tergambar dari bentuk nyata Islam moderat yang diajarkan di kampus Al-Azhar, Mesir, mampu menyemai beragam pemikiran lintas-mazhab, tanpa menjadikannya sebuah "pertentangan" sedikit pun.Â
Mesir jelas belajar juga dari konsep Islam moderat yang telah lama tumbuh subur di Indonesia yang kemudian diadopsi menjadi "kultur" dalam lingkungan Al-Azhar Asy-Syarif. Dengan demikian, Islam moderat sesungguhnya telah hidup di Indonesia, kuat mengakar dalam aspek berbudaya, sehingga tak perlu lagi semestinya "klaim" atas prospek moderatisme Islam yang "menggantung" dalam prospek pembangunan kampus UIII.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H