Sebuah informasi yang mungkin mengejutkan, bahwa beberapa akun media sosial yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) ternyata sejak kemarin (22/12/2017) telah diblokir, walaupun sejauh ini belum ada pemberitahuan pihak mana yang telah memblokirnya.Â
Sekjen FPI DKI Jakarta, Novel Bamukmin malah menghimbau agar umat muslim yang memiliki spirit 212 untuk libur menggunakan medsos sementara hingga awal tahun baru 2018 mendatang (Tempo.co, 22/12/2017).Â
Entah ada apa dengan pemblokiran akun FPI ini---baik twitter, facebook, dan istagram---apakah terkait dengan dikhawatirkannya FPI "mengharamkan" ucapan selamat Natal dan perayaan tahun baru yang pada akhirnya dapat mengganggu kekhidmatan sebagian masyarakat yang merayakannya.
Sepanjang yang saya tahu, soal mengucapkan selamat Natal memang selalu menjadi perdebatan diantara kelompok umat muslim, ada yang membolehkannya dan melarangnya. Pada 2014 yang lalu, Ketua Umum FPI, Muchsin Alatas pernah menegaskan pendapatnya soal keharaman umat muslim untuk mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani (cnnindonesia.com, 23/12/2014).Â
Lalu, ditahun-tahun berikutnya, memang masih saja ada ungkapan-ungkapan di media sosial, yang mengharamkan ucapan selamat Natal, walaupun tak sedikit juga yang membolehkan. Bagi saya, selama perbedaan pendapat ini tidak memaksakan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti dan tidak mendorong munculnya perselisihan ditengah masyarakat, masih dapat dianggap wajar.
Soal pemblokiran akun-akun medsos FPI ini apakah terkait dengan dikhawatirkannya ujaran-ujaran nyinyir atau ketidaksetujuan, bahkan hingga pengharaman soal ucapan selamat Natal yang dikhawatirkan menimbulkan keresahan ditengah masyarakat, ataukah ada hal lain, belum ada pemberitahuan yang resmi dari pihak berwenang.Â
Padahal, penerimaan atas setiap perbedaan pendapat, adalah hal yang wajar selama tidak memaksakan kehendak, terlebih memonopoli kebenaran atas kelompok tertentu yang "dipaksakan" kepada pihak lain. Jangankan soal mengucapkan selamat Natal kepada mereka yang berbeda keyakinan, soal pengucapan "minal aidin wal faizin" saja selalu menjadi perdebatan.Â
Sebagian kecil kalangan umat muslim menganggap, ucapan "minal aidzin wal faizin" tidak memiliki rujukan dari literatur keislaman manapun, oleh karena itu dianggap tidak sesuai ajaran Islam.
Sulit memang untuk tidak mengatakan, bahwa sejarah perbedaan pendapat di kalangan umat muslim, selalu saja dilatarbelakangi oleh cara pandang yang saling bertentangan terhadap sumber-sumber otoritatif hukum Islam.Â
Kalangan tekstualis-literalis, tentu saja akan selalu melihat kenyataan sosial melalui sebuah "teks hidup" yang tak boleh ditafsir ulang, dikontekstualisasikan sesuai perubahan sosial, karena seluruh realitas sudah ada dalam kebenaran teks, tak berubah bahkan tidak boleh bertentangan dengan konteks kesejarahan masa lalu.Â
Lain halnya dengan kalangan realis-kontekstualis, yang tetap menganggap teks adalah sebuah "kebenaran" namun selalu kreatif-dinamis, ditafsirkan, dan selalu dapat tetap hidup menyesuaikan dengan kondisi sosial kekinian. Kondisi ini belakangan kemudian merambah menjadi wilayah akidah dan keyakinan, bukan lagi menganggap wilayah "ihktilaf" yang semestinya bisa saling menghargai perbedaan pendapat.
Saya jadi teringat, akan sebuah peristiwa ketika Nabi Muhammad pertama kali melakukan hijrah ke Madinah. Di kota yang dahulu bernama Yatsrib itu, kedatangan Nabi Muhammad telah dinanti-nanti, bahkan Abdullah bin Salam, salah satu kepala Pendeta Yahudi disana, ingin sekali bertemu muka secara langsung dengan Nabi Muhammad.Â
Sejauh ini, Abdullah hanya mengetahui ciri-ciri kenabian Muhammad melalui pembacaannya yang fasih terhadap kitab Taurat, sehingga mendengar Nabi Muhammad akan hijrah ke Yatsrib, jelas kabar baik untuk dirinya. Kedatangan Nabi Muhammad tentu saja disambut hangat oleh penduduk Madinah, yang saat itu memang heterogen, menganut beragam keyakinan, tradisi, dan juga kepercayaan.
Sesampai Nabi Muhammad di Madinah, banyak sekali orang-orang berkumpul, sekadar menyambut atau bahkan memberikan penghormatan kepada sang Nabi, pemimpin kaum lemah dari Mekkah, pembebas para budak, dan pembawa agama Islam yang damai bagi para pengikutnya.Â
Disela-sela berkumpulnya penduduk Madinah, Nabi Muhammad kemudian memulai orasinya dengan menyatakan, "Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam atau keselamatan (afsyu as-salaam), bersedekahlah dan bantu orang-orang lemah (ath'imu at-tho'am), kuatkanlah persaudaraan (washilu al-arhaam), dan beribadahlah di malam hari ketika kebanyakan manusia tertidur" (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim).Â
Secara "kontekstual" hadis ini jelas memiliki kriteria umum, agar setiap orang saling menebarkan salam atau selamat, dalam konteks apapun dan dimanapun.
Saya meyakini, bahwa mengucapkan "selamat" atau "salam" adalah salah satu akhlak terpuji (akhlaq mahmudah) yang diajarkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Makna "afsyu as-salaam" (menebarkan salam) bahkan kemudian menjadi ciri "kebiasaan baik" umat muslim sejauh ini.Â
Bahkan, dalam sebuah riwayat hadis yang diabadikan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad pernah ditanya oleh seseorang, soal Islam yang bagiamana yang paling baik. Nabi Muhammad kemudian menjawab, "Kamu bersedekah (tath'imu ath-tho'aam), lalu ucapkan "selamat" atau "salam" kepada siapapun, baik kamu mengenalnya maupun tidak ('ala man 'arafta wa man lam ta'rif)".
Berdasarkan berbagai relasi historis terkait soal bagaimana seharusnya sikap keberagamaan seorang muslim, tentu saja ada rujukan teks yang bisa dikontekstualisasikan secara nyata, bahwa mengucapkan "salam" atau "selamat", tidak terikat oleh waktu, kondisi, maupun tempat sekalipun. Bahkan mengucapkan "selamat" tidak harus kepada orang yang telah kita kenal sebelumnya.Â
Saya menjadi semakin gagal paham, disaat "salam" merupakan "perintah" dari Nabi Muhammad, tetapi belakangan kemudian dipersoalkan oleh umat muslim sendiri. Selamat Idul Fitri yang diungkapkan melalui bait doa, "minal aidzin wal faizin" saja dipermasalahkan, apalagi soal ucapan selamat Natal dan Tahun Baru. Yang lebih mengherankan, seluruh apapun yang dilakukan---termasuk memperingati Hari Ibu---justru dianggap budaya "kafir" yang dianggap mengada-ada.
Sebagai seorang muslim, saya jelas mengikuti contoh yang telah dilakukan Nabi Muhammad ketika di Madinah, bahwa ucapan "salam" atau "selamat" tidak hanya berlaku untuk satu kelompok, satu golongan, atau satu agama saja, namun lebih luas dari itu, kepada seluruh umat manusia.Â
Saya juga meyakini, ucapan selamat natal kepada rekan saya yang beragama Nasrani, tak akan pernah mengurangi sedikitpun keimanan dan akidah saya sebagai seorang muslim. Selamat Natal bagi semua umat Nasrani yang merayakannya, Selamat Tahun Baru 2018, semoga di penghujung tahun 2017 ini, kita bisa semakin banyak belajar memahami banyak hal, sehingga tidak mudah mendiskreditkan orang lain. Keberagaman, pluralisme, jelas adalah "takdir" yang sudah sepatutnya kita terima, hargai, dan hormati, bukan dipertentangkan, dilawan, atau bahkan dibenci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H