Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemblokiran Akun Media Sosial FPI, Terkait Natal?

23 Desember 2017   10:03 Diperbarui: 23 Desember 2017   10:14 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya jadi teringat, akan sebuah peristiwa ketika Nabi Muhammad pertama kali melakukan hijrah ke Madinah. Di kota yang dahulu bernama Yatsrib itu, kedatangan Nabi Muhammad telah dinanti-nanti, bahkan Abdullah bin Salam, salah satu kepala Pendeta Yahudi disana, ingin sekali bertemu muka secara langsung dengan Nabi Muhammad. 

Sejauh ini, Abdullah hanya mengetahui ciri-ciri kenabian Muhammad melalui pembacaannya yang fasih terhadap kitab Taurat, sehingga mendengar Nabi Muhammad akan hijrah ke Yatsrib, jelas kabar baik untuk dirinya. Kedatangan Nabi Muhammad tentu saja disambut hangat oleh penduduk Madinah, yang saat itu memang heterogen, menganut beragam keyakinan, tradisi, dan juga kepercayaan.

Sesampai Nabi Muhammad di Madinah, banyak sekali orang-orang berkumpul, sekadar menyambut atau bahkan memberikan penghormatan kepada sang Nabi, pemimpin kaum lemah dari Mekkah, pembebas para budak, dan pembawa agama Islam yang damai bagi para pengikutnya. 

Disela-sela berkumpulnya penduduk Madinah, Nabi Muhammad kemudian memulai orasinya dengan menyatakan, "Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam atau keselamatan (afsyu as-salaam), bersedekahlah dan bantu orang-orang lemah (ath'imu at-tho'am), kuatkanlah persaudaraan (washilu al-arhaam), dan beribadahlah di malam hari ketika kebanyakan manusia tertidur" (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim). 

Secara "kontekstual" hadis ini jelas memiliki kriteria umum, agar setiap orang saling menebarkan salam atau selamat, dalam konteks apapun dan dimanapun.

Saya meyakini, bahwa mengucapkan "selamat" atau "salam" adalah salah satu akhlak terpuji (akhlaq mahmudah) yang diajarkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Makna "afsyu as-salaam" (menebarkan salam) bahkan kemudian menjadi ciri "kebiasaan baik" umat muslim sejauh ini. 

Bahkan, dalam sebuah riwayat hadis yang diabadikan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad pernah ditanya oleh seseorang, soal Islam yang bagiamana yang paling baik. Nabi Muhammad kemudian menjawab, "Kamu bersedekah (tath'imu ath-tho'aam), lalu ucapkan "selamat" atau "salam" kepada siapapun, baik kamu mengenalnya maupun tidak ('ala man 'arafta wa man lam ta'rif)".

Berdasarkan berbagai relasi historis terkait soal bagaimana seharusnya sikap keberagamaan seorang muslim, tentu saja ada rujukan teks yang bisa dikontekstualisasikan secara nyata, bahwa mengucapkan "salam" atau "selamat", tidak terikat oleh waktu, kondisi, maupun tempat sekalipun. Bahkan mengucapkan "selamat" tidak harus kepada orang yang telah kita kenal sebelumnya. 

Saya menjadi semakin gagal paham, disaat "salam" merupakan "perintah" dari Nabi Muhammad, tetapi belakangan kemudian dipersoalkan oleh umat muslim sendiri. Selamat Idul Fitri yang diungkapkan melalui bait doa, "minal aidzin wal faizin" saja dipermasalahkan, apalagi soal ucapan selamat Natal dan Tahun Baru. Yang lebih mengherankan, seluruh apapun yang dilakukan---termasuk memperingati Hari Ibu---justru dianggap budaya "kafir" yang dianggap mengada-ada.

Sebagai seorang muslim, saya jelas mengikuti contoh yang telah dilakukan Nabi Muhammad ketika di Madinah, bahwa ucapan "salam" atau "selamat" tidak hanya berlaku untuk satu kelompok, satu golongan, atau satu agama saja, namun lebih luas dari itu, kepada seluruh umat manusia. 

Saya juga meyakini, ucapan selamat natal kepada rekan saya yang beragama Nasrani, tak akan pernah mengurangi sedikitpun keimanan dan akidah saya sebagai seorang muslim. Selamat Natal bagi semua umat Nasrani yang merayakannya, Selamat Tahun Baru 2018, semoga di penghujung tahun 2017 ini, kita bisa semakin banyak belajar memahami banyak hal, sehingga tidak mudah mendiskreditkan orang lain. Keberagaman, pluralisme, jelas adalah "takdir" yang sudah sepatutnya kita terima, hargai, dan hormati, bukan dipertentangkan, dilawan, atau bahkan dibenci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun