Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Balada Negeri “Recehan”

20 Oktober 2016   11:49 Diperbarui: 20 Oktober 2016   11:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi recehan kemudian diperparah oleh pembenaran praktik pungli dalam masyarakat, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau pihak swasta lainnya. Praktik pungli yang telah membudaya ini termasuk bagi-bagi recehan dalam konotasi negatif. Uang hasil pungli yang awalnya bernilai besar setelah dikumpulkan kemudian dibagi-bagikan secara berjenjang dari tingkat teratas sampai tingkat paling bawah.

Pungli seakan dibenarkan karena memberikan keuntungan sebagai sebuah insentif diluar penghasilan utama. Para pegawai dan pekerja tentunya merasa senang karena selalu diberikan insentif dari instansinya walaupun sebenarnya uang recehan yang terkumpul tersebut berasal dari praktik pungli. Memang, bisa jadi bahwa tidak semua pegawai menikmati uang recehan tersebut tetapi saya kira, praktik pungli ini sudah menjadi sebuah “rahasia umum” kelihatannya.

Konon, tradisi recehan juga nampaknya belakangan ini sukses diberantas oleh KPK. Sejak KPK dibentuk oleh Presiden Jokowi melalui sistem rekruitmen oleh panitia seleksi yang ditunjuk, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi pahlawan utama KPK dalam memberantas korupsi. OTT diketahui selalu menjaring para aparat atau birokrat di pemerintahan terutama pada level atasan walaupun nilai uang hasil korupsi OTT ditengarai tidak terlalu mengejutkan.

Walaupun “recehan” asal yang korupsi itu pejabat negara atau penegak hukum tentunya akan membuat berita mengejutkan ketika dipublikasikan. KPK seakan sedang membentuk stigmatisasi negatif terhadap para pejabat negara atau aparat hukum saja yang korup, sedangkan para penyuap dibelakangnya yang berasal dari pengusaha atau cukong-cukong justru seringkali “ditenggelamkan” oleh pembentukan opini. Hampir semua kasus korupsi yang diungkap oleh KPK melalui OTT secara nilai memang recehan karena memang tidak bisa dipergunakan untuk menutupi defisit anggaran negara.

Tak kalah pentingnya soal recehan yang kemudian mencoba dikumpulkan oleh negara adalah melalui program pengampunan pajak (tax amnesty). Sejak dari awal dikeluarkannya kebijakan ini memang menyasar para wajib pajak yang menyimpan uangnya di luar negeri, sehingga mereka cenderung tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak. Alih-alih berhasil mengumpulkan uang para pengemplang pajak yang dananya tersimpan di luar negeri, malah hanya wajib pajak dalam skala menengah kebawah yang disasar.

Defisit anggaran negara yang diharapkan dapat ditutup oleh program pengampunan pajak ini masih “jauh panggang dari api”. Target awal yang disebutkan mencapai Rp 165 triliun, ternyata hingga September ini hanya terkumpul Rp 97 triliun. Sasaran pajak-pun nampaknya semakin bergeser tidak lagi memprioritaskan para wajib pajak yang menyimpan dananya di luar negeri, tetapi mereka yang tergolong pengusaha kecil, UMKM dan pribadi yang sekedar memiliki dana “recehan”. Recehan-recehan dari para wajib pajak ini kemudian dikumpulkan untuk membantu menutupi defisit anggaran negara yang mencapai Rp 296,7 triliun.

Asumsi saya, konsep “recehan” yang saat ini seakan menjadi fenomena di negeri ini menjadi sebuah balada yang kemudian diceritakan dan diasumsikan oleh banyak orang. Tidak hanya itu, Indonesia seringkali dianggap oleh dunia luar sebagai “negara lunak” karena orang asing yang masuk kesini tidak terlalu sulit karena diberlakukan bebas visa kepada mereka. Kebijakan bebas visa ini malah seringkali dianggap oleh negara lain sebagai “negeri recehan” dan para warga asing bebas melakukan apa saja dan tinggal di Indonesia semaunya.

Nilai tukar valuta asing yang mereka miliki tentu bernilai besar ketika dibelanjakan di negeri ini, lain halnya ketika warga Indonesia harus berkunjung ke negara asing. Saya kira, sudah saatnya negeri ini keluar dari persepsi “recehan” yang berkonotasi negatif tetapi dengan tetap mendukung asumsi “recehan” yang berkonotasi positif. Ditengah perjalanan dua tahun masa pemerintahan Jokowi, memang merupakan masa-masa sulit tetapi dengan dukungan seluruh elemen masyarakat, balada sebagai negeri “recehan” ini pasti tidak akan diceritakan kembali.

Wallahu a’lam bisshawab               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun