Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Balada Negeri “Recehan”

20 Oktober 2016   11:49 Diperbarui: 20 Oktober 2016   11:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah “receh” yang konon katanya berasal dari bahasa Jawa justru sebenarnya memiliki konotasi positif, karena receh kependekan dari kalimat “digered lan di ceh-ceh” atau berarti “dibawa-bawa sambil dibagi-bagikan kepada orang lain”. Dalam budaya Jawa, biasanya receh identik dengan uang pecahan yang bernilai kecil terkadang dipergunakan pada acara kematian seseorang.

Sambil mengusung jenazah, konon ada orang yang membagi-bagikan uang recehan diantara pengiring dengan keyakinan bahwa uang recehan sebagai simbol sedekah bagi orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Pun uang recehan terkadang dibagi-bagikan kepada masyarakat ketika berlangsungnya adat pernikahan. Tradisi ini memang sudah hampir punah, tetapi di beberapa pedalaman Jawa bagian Tengah atau Timur, terkadang masyarakat masih ada yang mempraktekkan bagi-bagi receh ini.

Konotasi negatif soal “receh” kemudian diangkat dalam beberapa tulisan di Kompasiana dengan mengalamatkan langsung kepada Presiden Jokowi disaat mengomentari pemberantasan praktik pungutan liar (pungli) yang sedang digencarkan. Pungli diketahui masuk dalam wilayah reformasi kebijakan hukum pemerintah yang baru-baru ini mulai diaplikasikan kedalam lembaga negara dan pemerintahan agar memiliki birokrasi yang sehat dan rasional melalui penghapusan menyeluruh praktik pungli.

Presiden bahkan menegaskan, tidak hanya praktik pungli yang bernilai ratusan atau bahkan jutaan rupiah yang disasar, tetapi pungli yang bernilai hanya recehan juga tetap akan diberantas. Bahkan dengan tegas Presiden menyatakan akan langsung turun tangan menyelesaikan pungli yang “kecil-kecil” karena yang “besar-besar” sudah ditangani KPK.

Jadi bagi saya, ada dua konotasi yang ada dalam istilah “recehan”, yang pertama memang memiliki konotasi negatif dan lainnya positif. Menarik kiranya membahas soal recehan ini pada dua konotasi yang saling bertentangan ini apabila dihadapkan langsung dengan kondisi dua tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Dalam konotasi positif, jika recehan yang dimaksud adalah membagi-bagikan sesuatu yang kecil kepada masyarakat secara langsung memang sudah dijalani selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK ini. Sejak tahun 2014, pemerintahan Jokowi-JK misalnya menggelontorkan dana yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dalam program Bantuan Langsung Sementara Tunai (BLSM) senilai Rp 400.000 yang diberikan secara tunai kepada masyarakat.

Memang, dana keseluruhan mencapai 5 triliun mengambil dana cadangan APBN-P 2014, tetapi dipecah-pecah menjadi recehan dan dibagikan kepada seluruh masyarakat miskin. Ini adalah sisi positif dari recehan dimana setiap keluarga miskin mendapat bantuan tunai langsung dari pemerintah. Program BLSM kemudian berubah bentuk mulai 2015 menjadi dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) mengingat bahwa istilah BLT dipakai oleh rezim sebelumnya.

Banyak sebenarnya penggelontoran dana recehan yang dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk lain yang diperuntukkan bagi mereka dengan kategori miskin atau tidak mampu, termasuk yang berkaitan dengan kesejahteraan dan pendidikan. Pemerintahan Jokowi misalnya mengeluarkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang sejak 2014 mendapatkan dana recehan sebesar Rp 200.000 perkeluarga.

Dalam bidang pendidikan, siswa yang kurang mampu dihadiahi Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berbeda-beda nilai bantuannya, sesuai jenjang pendidikan. Untuk setingkat SD/MI mendapat bantuan Rp 225.000, setingkat SMP/MTS Rp 375.000 dan SMA/Aliyah Rp 500.000. Lagi-lagi ini merupakan bentuk recehan yang digelontorkan oleh pemerintah kepada masyarakat demi menunjang kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Saya kira, membagi-bagikan bantuan dalam bentuk kecil-kecil kepada masyarakat yang membutuhkan, bukannya membuat infrastruktur langsung merupakan program “recehan” dalam pengertian yang positif.

Tradisi “recehan” yang dikelola oleh pemerintah ini sedikit banyak berimplikasi dalam banyak aspek di lembaga-lembaga pemerintahan. Terkadang, dalam membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dalam sebuah lembaga pemerintahan yang ekstra ketat karena memang pengalokasian dananya harus sesuai dengan peruntukannya, terkadang masih saja “diakali” agar lembaga atau instansi bisa saving dana recehan untuk dibagi-bagikan sebagai insentif bagi para pegawainya.

Tradisi bagi-bagi uang recehan ini, saya kira, memang marak di hampir seluruh instansi atau lembaga pemerintahan terutama bagaimana caranya mendapatkan keuntungan meskipun recehan dari sebuah pelaksanaan proyek pekerjaan. Fenomena bagi-bagi recehan memang seakan menjadi tradisi yang dibenarkan karena memang saling menguntungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun