Istilah “receh” yang konon katanya berasal dari bahasa Jawa justru sebenarnya memiliki konotasi positif, karena receh kependekan dari kalimat “digered lan di ceh-ceh” atau berarti “dibawa-bawa sambil dibagi-bagikan kepada orang lain”. Dalam budaya Jawa, biasanya receh identik dengan uang pecahan yang bernilai kecil terkadang dipergunakan pada acara kematian seseorang.
Sambil mengusung jenazah, konon ada orang yang membagi-bagikan uang recehan diantara pengiring dengan keyakinan bahwa uang recehan sebagai simbol sedekah bagi orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Pun uang recehan terkadang dibagi-bagikan kepada masyarakat ketika berlangsungnya adat pernikahan. Tradisi ini memang sudah hampir punah, tetapi di beberapa pedalaman Jawa bagian Tengah atau Timur, terkadang masyarakat masih ada yang mempraktekkan bagi-bagi receh ini.
Konotasi negatif soal “receh” kemudian diangkat dalam beberapa tulisan di Kompasiana dengan mengalamatkan langsung kepada Presiden Jokowi disaat mengomentari pemberantasan praktik pungutan liar (pungli) yang sedang digencarkan. Pungli diketahui masuk dalam wilayah reformasi kebijakan hukum pemerintah yang baru-baru ini mulai diaplikasikan kedalam lembaga negara dan pemerintahan agar memiliki birokrasi yang sehat dan rasional melalui penghapusan menyeluruh praktik pungli.
Presiden bahkan menegaskan, tidak hanya praktik pungli yang bernilai ratusan atau bahkan jutaan rupiah yang disasar, tetapi pungli yang bernilai hanya recehan juga tetap akan diberantas. Bahkan dengan tegas Presiden menyatakan akan langsung turun tangan menyelesaikan pungli yang “kecil-kecil” karena yang “besar-besar” sudah ditangani KPK.
Jadi bagi saya, ada dua konotasi yang ada dalam istilah “recehan”, yang pertama memang memiliki konotasi negatif dan lainnya positif. Menarik kiranya membahas soal recehan ini pada dua konotasi yang saling bertentangan ini apabila dihadapkan langsung dengan kondisi dua tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam konotasi positif, jika recehan yang dimaksud adalah membagi-bagikan sesuatu yang kecil kepada masyarakat secara langsung memang sudah dijalani selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK ini. Sejak tahun 2014, pemerintahan Jokowi-JK misalnya menggelontorkan dana yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dalam program Bantuan Langsung Sementara Tunai (BLSM) senilai Rp 400.000 yang diberikan secara tunai kepada masyarakat.
Memang, dana keseluruhan mencapai 5 triliun mengambil dana cadangan APBN-P 2014, tetapi dipecah-pecah menjadi recehan dan dibagikan kepada seluruh masyarakat miskin. Ini adalah sisi positif dari recehan dimana setiap keluarga miskin mendapat bantuan tunai langsung dari pemerintah. Program BLSM kemudian berubah bentuk mulai 2015 menjadi dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) mengingat bahwa istilah BLT dipakai oleh rezim sebelumnya.
Banyak sebenarnya penggelontoran dana recehan yang dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk lain yang diperuntukkan bagi mereka dengan kategori miskin atau tidak mampu, termasuk yang berkaitan dengan kesejahteraan dan pendidikan. Pemerintahan Jokowi misalnya mengeluarkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang sejak 2014 mendapatkan dana recehan sebesar Rp 200.000 perkeluarga.
Dalam bidang pendidikan, siswa yang kurang mampu dihadiahi Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berbeda-beda nilai bantuannya, sesuai jenjang pendidikan. Untuk setingkat SD/MI mendapat bantuan Rp 225.000, setingkat SMP/MTS Rp 375.000 dan SMA/Aliyah Rp 500.000. Lagi-lagi ini merupakan bentuk recehan yang digelontorkan oleh pemerintah kepada masyarakat demi menunjang kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Saya kira, membagi-bagikan bantuan dalam bentuk kecil-kecil kepada masyarakat yang membutuhkan, bukannya membuat infrastruktur langsung merupakan program “recehan” dalam pengertian yang positif.
Tradisi “recehan” yang dikelola oleh pemerintah ini sedikit banyak berimplikasi dalam banyak aspek di lembaga-lembaga pemerintahan. Terkadang, dalam membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dalam sebuah lembaga pemerintahan yang ekstra ketat karena memang pengalokasian dananya harus sesuai dengan peruntukannya, terkadang masih saja “diakali” agar lembaga atau instansi bisa saving dana recehan untuk dibagi-bagikan sebagai insentif bagi para pegawainya.
Tradisi bagi-bagi uang recehan ini, saya kira, memang marak di hampir seluruh instansi atau lembaga pemerintahan terutama bagaimana caranya mendapatkan keuntungan meskipun recehan dari sebuah pelaksanaan proyek pekerjaan. Fenomena bagi-bagi recehan memang seakan menjadi tradisi yang dibenarkan karena memang saling menguntungkan.
Tradisi recehan kemudian diperparah oleh pembenaran praktik pungli dalam masyarakat, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau pihak swasta lainnya. Praktik pungli yang telah membudaya ini termasuk bagi-bagi recehan dalam konotasi negatif. Uang hasil pungli yang awalnya bernilai besar setelah dikumpulkan kemudian dibagi-bagikan secara berjenjang dari tingkat teratas sampai tingkat paling bawah.
Pungli seakan dibenarkan karena memberikan keuntungan sebagai sebuah insentif diluar penghasilan utama. Para pegawai dan pekerja tentunya merasa senang karena selalu diberikan insentif dari instansinya walaupun sebenarnya uang recehan yang terkumpul tersebut berasal dari praktik pungli. Memang, bisa jadi bahwa tidak semua pegawai menikmati uang recehan tersebut tetapi saya kira, praktik pungli ini sudah menjadi sebuah “rahasia umum” kelihatannya.
Konon, tradisi recehan juga nampaknya belakangan ini sukses diberantas oleh KPK. Sejak KPK dibentuk oleh Presiden Jokowi melalui sistem rekruitmen oleh panitia seleksi yang ditunjuk, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi pahlawan utama KPK dalam memberantas korupsi. OTT diketahui selalu menjaring para aparat atau birokrat di pemerintahan terutama pada level atasan walaupun nilai uang hasil korupsi OTT ditengarai tidak terlalu mengejutkan.
Walaupun “recehan” asal yang korupsi itu pejabat negara atau penegak hukum tentunya akan membuat berita mengejutkan ketika dipublikasikan. KPK seakan sedang membentuk stigmatisasi negatif terhadap para pejabat negara atau aparat hukum saja yang korup, sedangkan para penyuap dibelakangnya yang berasal dari pengusaha atau cukong-cukong justru seringkali “ditenggelamkan” oleh pembentukan opini. Hampir semua kasus korupsi yang diungkap oleh KPK melalui OTT secara nilai memang recehan karena memang tidak bisa dipergunakan untuk menutupi defisit anggaran negara.
Tak kalah pentingnya soal recehan yang kemudian mencoba dikumpulkan oleh negara adalah melalui program pengampunan pajak (tax amnesty). Sejak dari awal dikeluarkannya kebijakan ini memang menyasar para wajib pajak yang menyimpan uangnya di luar negeri, sehingga mereka cenderung tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak. Alih-alih berhasil mengumpulkan uang para pengemplang pajak yang dananya tersimpan di luar negeri, malah hanya wajib pajak dalam skala menengah kebawah yang disasar.
Defisit anggaran negara yang diharapkan dapat ditutup oleh program pengampunan pajak ini masih “jauh panggang dari api”. Target awal yang disebutkan mencapai Rp 165 triliun, ternyata hingga September ini hanya terkumpul Rp 97 triliun. Sasaran pajak-pun nampaknya semakin bergeser tidak lagi memprioritaskan para wajib pajak yang menyimpan dananya di luar negeri, tetapi mereka yang tergolong pengusaha kecil, UMKM dan pribadi yang sekedar memiliki dana “recehan”. Recehan-recehan dari para wajib pajak ini kemudian dikumpulkan untuk membantu menutupi defisit anggaran negara yang mencapai Rp 296,7 triliun.
Asumsi saya, konsep “recehan” yang saat ini seakan menjadi fenomena di negeri ini menjadi sebuah balada yang kemudian diceritakan dan diasumsikan oleh banyak orang. Tidak hanya itu, Indonesia seringkali dianggap oleh dunia luar sebagai “negara lunak” karena orang asing yang masuk kesini tidak terlalu sulit karena diberlakukan bebas visa kepada mereka. Kebijakan bebas visa ini malah seringkali dianggap oleh negara lain sebagai “negeri recehan” dan para warga asing bebas melakukan apa saja dan tinggal di Indonesia semaunya.
Nilai tukar valuta asing yang mereka miliki tentu bernilai besar ketika dibelanjakan di negeri ini, lain halnya ketika warga Indonesia harus berkunjung ke negara asing. Saya kira, sudah saatnya negeri ini keluar dari persepsi “recehan” yang berkonotasi negatif tetapi dengan tetap mendukung asumsi “recehan” yang berkonotasi positif. Ditengah perjalanan dua tahun masa pemerintahan Jokowi, memang merupakan masa-masa sulit tetapi dengan dukungan seluruh elemen masyarakat, balada sebagai negeri “recehan” ini pasti tidak akan diceritakan kembali.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H