Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haji, Kesalehan Sosial dan Transformasi Spiritual

29 Juli 2016   11:37 Diperbarui: 29 Juli 2016   11:51 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah gejala keagamaan yang terjadi di seluruh dunia, terutama dalam sebuah masyarakat Muslim adalah ziarah Haji. Dalam ajaran Islam, Haji merupakan salah satu ritual wajib yang secara eksplisit telah diperintahkan oleh kitab suci AlQuran. Selain itu, ziarah ke Tanah Suci Mekkah ini sekaligus merupakan perintah Nabi Muhammad agar umat Islam dapat meneladani beragam peristiwa spiritual yang dilalui oleh banyak para Nabi sebelum Muhammad. Melihat dari serangkaian ritualnya, Haji lebih banyak menekankan aspek spiritual melalui upaya napak tilas sejarah para nabi sehingga wajar jika seringkali aspek rasionalitas dalam Haji tampak dikesampingkan.

Dibanding ibadah-ibadah wajib lainnya yang dapat dirasionalisasikan, Haji lebih banyak berada dalam lingkup eksistensial terututup dimana domain spiritual lebih banyak bermain di dalamnya. Agak sulit dipahami dengan nalar, mengapa dalam Haji ada ritus sa’i berjalan antara bukit Shafa dan Marwa atau thawaf mengelilingi Ka’bah atau melempar Jumroh Aqabah dengan jumlah batu yang ditentukan. Ritus-ritus tersebut hanyalah dipahami sebagai Perintah dari Yang Maha Tinggi, sehingga tuntutan kepatuhan terhadap Perintah harus diikuti tanpa perlu nalar mempertanyakan.

Jika ritus dalam Shalat dapat dirasionalisasikan sebagai bentuk kerendah-dirian manusia dihadapan Tuhan, terutama ketika ruku’ dan sujud; puasa di bulan Ramadhan merupakan upaya pelemahan musuh Tuhan yang dilalui dengan menahan nafsu dari keinginan makan dan minum atau lainnya; sedangkan zakat rasionalitasnya terletak pada unsur filantropi atau kedermawanan yang diajarkan agar terbiasa dalam membantu sesama. Adapun Haji, melihat dari serangkaian ritualitasnya baik itu thawaf, sa’i, melempar jumroh atau wuquf di Arafah lebih bernuansa kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan yang tanpa reserve, tidak mungkin nalar menerimanya tetapi ritual ini menuntut ke arah penataan spiritualitas atau jiwa yang hanya dapat diyakini oleh seseorang dalam berhaji. Ketundukan dan kepatuhan seseorang dalam melaksanakan perintah Tuhan tercermin dalam serangkaian ritual ibadah Haji, oleh karenanya predikat mabrur(approved by God) disematkan kepada seseorang yang berhasil dalam menata aspek spiritualitas dalam dirinya setelah Haji. 

Haji disebut dalam rangkaian terakhir dari rukun Islam yang wajib dijalankan oleh seluruh umat muslim yang beriman. Ditempatkannya Haji dalam rukun Islam kelima, tidak lain merupakan akhir dari puncak spiritualitas yang sarat dengan nuansa kepasrahan dan kepatuhan seseorang kepada Tuhan. Fondasi awal penguatan iman seorang muslim yang telah dilalui dengan ritual syahadat, shalat, puasa dan zakat pada akhirnya akan bertemu pada titik kulminasi paling tinggi dari keimanan yang diekspresikan melalui kegiatan Haji.

Ketika seseorang melaksanakan Haji sejatinya akan diperlihatkan gambaran perjalanan manusia dalam suasana eskatologis, sebagaimana kita saksikan bahwa pakaian yang dikenakan oleh jamaah Haji, yaitu pakaian ihram yang berupa kain putih tanpa dijahit merupakan harta satu-satunya yang akan dibawa nanti, pada saat seluruh harta benda ditinggalkan dari dunia yang mereka tempati. Perjalanan ziarah Haji yang dilakukan seorang muslim memberikan kesan mendalam terhadap aspek eskatologis ini, dimulai sejak keberangkatan dengan meninggalkan seluruh aspek keduaniaan yang dia miliki dan bersiap menuju kehidupan lain yang lebih abadi.

Saat ini, umat Muslim di seluruh dunia sedang bersiap menyambut bulan Dzulhijjah, bulan dimana dilaksanakannya ibadah Haji, tak terkecuali di Indonesia. Sejak dahulu, Indonesia melalui Kementrian Agama mengkoordinir kegiatan ibadah Haji seluruhnya baik dalam hal persiapan dari sejak keberangkatan sampai kepulangan jamaah Haji ke tanah air. Pemerintah Indonesia memberikan pelayanan dan dukungan  terhadap para peziarah Haji yang dikonsentrasikan seluruh aspek kegiatannya dibawah Kementrian Agama, khususnya pada lembaga urusan Haji yang dibentuk. Hampir di seluruh negara muslim manapun, para peziarah Haji akan diatur sedemikian rupa oleh pemerintah negaranya masing-masing, baik berupa pemberian fasilitas dan dukungan kepada para peziarah dalam rangka peningkatan prestise yang penting bagi mereka.

Sebagai sebuah gejala kegamaan, perkembangan jumlah jemaah Haji di hampir seluruh dunia selalu meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tak jarang para pendaftar Haji, khususnya di Indonesia, harus menunggu bertahun-tahun lamanya agar dapat berziarah ke Mekkah pada saat bulan Haji tiba. Meski demikian, Haji yang sejatinya merupakan ibadah yang didasari oleh semangat keimanan tampaknya mulai bergeser menjadi ritual tahunan yang tak jarang didasari oleh kepentingan ekonomi atau politik yang bersifat keduniaan.

Makna sebuah perjalanan spiritual yang melekat dalam ritus-ritus Haji saat ini cenderung dipahami secara instan hanya untuk memperoleh prestise secara sosio-budaya dalam lingkup masyarakat Muslim. Tak hanya berlaku untuk masyarakat Muslim yang berhaji, tetapi pemerintah pun seakan ikut memburu prestise dalam bentuk kepentingan bisnis, ekonomi dan politik. Padahal, melihat kepada sisi historisnya, Haji yang dijalankan dengan  spirit keimanan akan membentuk peningkatan kesalehan baik secara individu maupun sosial. Hal ini yang seringkali luput dari kondisi gejala keagamaan seperti Haji, berbeda dengan ritus-ritus wajib lainnya, seperti Shalat, Zakat atau puasa di bulan Ramadhan.

Secara historis, Haji mengalami transformasi yang cukup panjang terutama pergeseran fungsi-fungsinya dari yang sifatnya keagamaan menjadi bernuansa duniawi. Kita bisa saksikan bahwa di seluruh negara mayoritas Muslim, pemerintahannya mengurus jamaah-jamaah Haji yang dipimpin oleh seorang ketua ziarah (Amirul Haj). Seorang Amirul Haj akan menunjuk seperangkat petugas yang akan membantu dalam seluruh proses pelaksanaan Haji.

Sebagai sebuah hajatan besar, berbagai kepentingan keduaniaan terlibat dan ikut ambil bagian didalamnya yang jelas telah mengaburkan makna spiritual ziarah Haji yang sebenarnya. Jika dahulu para peziarah yang akan berhaji cenderung memanfaatkan perjalanan panjangnya untuk bertemu dengan para ulama-ulama lainnya untuk hanya sekedar menguji tingkat pengetahuan agamanya, atau tanpa ragu-ragu para peziarah Haji berangkat dengan membawa barang-barang dagangan mereka, maka saat ini para peziarah Haji banyak yang kehilangan makna spiritualnya dan lebih memberikan porsi ritual yang hanya bernuansa keduniawian.

Dalam memaknai Haji, sebenarnya banyak sisi historis yang berkaitan dengan penguatan masyarakat Muslim baik secara politik, ekonomi dan budaya waktu itu. Secara geografis, Arab merupakan wilayah pertemuan yang strategis diantara Arabia Selatan dan Utara hingga ke Irak, Syiria dan Palestina. Kondisi wilayah ini juga diperkuat oleh adanya mata air abadi yang disebut Zamzam yang pada waktu itu menyedot perhatian banyak pihak. Mata air yang seakan tidak pernah habis hingga saat ini merupakan oase padang pasir yang dianggap sebagai sebuah berkah dan keajaiban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun