Sebuah gejala keagamaan yang terjadi di seluruh dunia, terutama dalam sebuah masyarakat Muslim adalah ziarah Haji. Dalam ajaran Islam, Haji merupakan salah satu ritual wajib yang secara eksplisit telah diperintahkan oleh kitab suci AlQuran. Selain itu, ziarah ke Tanah Suci Mekkah ini sekaligus merupakan perintah Nabi Muhammad agar umat Islam dapat meneladani beragam peristiwa spiritual yang dilalui oleh banyak para Nabi sebelum Muhammad. Melihat dari serangkaian ritualnya, Haji lebih banyak menekankan aspek spiritual melalui upaya napak tilas sejarah para nabi sehingga wajar jika seringkali aspek rasionalitas dalam Haji tampak dikesampingkan.
Dibanding ibadah-ibadah wajib lainnya yang dapat dirasionalisasikan, Haji lebih banyak berada dalam lingkup eksistensial terututup dimana domain spiritual lebih banyak bermain di dalamnya. Agak sulit dipahami dengan nalar, mengapa dalam Haji ada ritus sa’i berjalan antara bukit Shafa dan Marwa atau thawaf mengelilingi Ka’bah atau melempar Jumroh Aqabah dengan jumlah batu yang ditentukan. Ritus-ritus tersebut hanyalah dipahami sebagai Perintah dari Yang Maha Tinggi, sehingga tuntutan kepatuhan terhadap Perintah harus diikuti tanpa perlu nalar mempertanyakan.
Jika ritus dalam Shalat dapat dirasionalisasikan sebagai bentuk kerendah-dirian manusia dihadapan Tuhan, terutama ketika ruku’ dan sujud; puasa di bulan Ramadhan merupakan upaya pelemahan musuh Tuhan yang dilalui dengan menahan nafsu dari keinginan makan dan minum atau lainnya; sedangkan zakat rasionalitasnya terletak pada unsur filantropi atau kedermawanan yang diajarkan agar terbiasa dalam membantu sesama. Adapun Haji, melihat dari serangkaian ritualitasnya baik itu thawaf, sa’i, melempar jumroh atau wuquf di Arafah lebih bernuansa kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan yang tanpa reserve, tidak mungkin nalar menerimanya tetapi ritual ini menuntut ke arah penataan spiritualitas atau jiwa yang hanya dapat diyakini oleh seseorang dalam berhaji. Ketundukan dan kepatuhan seseorang dalam melaksanakan perintah Tuhan tercermin dalam serangkaian ritual ibadah Haji, oleh karenanya predikat mabrur(approved by God) disematkan kepada seseorang yang berhasil dalam menata aspek spiritualitas dalam dirinya setelah Haji.Â
Haji disebut dalam rangkaian terakhir dari rukun Islam yang wajib dijalankan oleh seluruh umat muslim yang beriman. Ditempatkannya Haji dalam rukun Islam kelima, tidak lain merupakan akhir dari puncak spiritualitas yang sarat dengan nuansa kepasrahan dan kepatuhan seseorang kepada Tuhan. Fondasi awal penguatan iman seorang muslim yang telah dilalui dengan ritual syahadat, shalat, puasa dan zakat pada akhirnya akan bertemu pada titik kulminasi paling tinggi dari keimanan yang diekspresikan melalui kegiatan Haji.
Ketika seseorang melaksanakan Haji sejatinya akan diperlihatkan gambaran perjalanan manusia dalam suasana eskatologis, sebagaimana kita saksikan bahwa pakaian yang dikenakan oleh jamaah Haji, yaitu pakaian ihram yang berupa kain putih tanpa dijahit merupakan harta satu-satunya yang akan dibawa nanti, pada saat seluruh harta benda ditinggalkan dari dunia yang mereka tempati. Perjalanan ziarah Haji yang dilakukan seorang muslim memberikan kesan mendalam terhadap aspek eskatologis ini, dimulai sejak keberangkatan dengan meninggalkan seluruh aspek keduaniaan yang dia miliki dan bersiap menuju kehidupan lain yang lebih abadi.
Saat ini, umat Muslim di seluruh dunia sedang bersiap menyambut bulan Dzulhijjah, bulan dimana dilaksanakannya ibadah Haji, tak terkecuali di Indonesia. Sejak dahulu, Indonesia melalui Kementrian Agama mengkoordinir kegiatan ibadah Haji seluruhnya baik dalam hal persiapan dari sejak keberangkatan sampai kepulangan jamaah Haji ke tanah air. Pemerintah Indonesia memberikan pelayanan dan dukungan  terhadap para peziarah Haji yang dikonsentrasikan seluruh aspek kegiatannya dibawah Kementrian Agama, khususnya pada lembaga urusan Haji yang dibentuk. Hampir di seluruh negara muslim manapun, para peziarah Haji akan diatur sedemikian rupa oleh pemerintah negaranya masing-masing, baik berupa pemberian fasilitas dan dukungan kepada para peziarah dalam rangka peningkatan prestise yang penting bagi mereka.
Sebagai sebuah gejala kegamaan, perkembangan jumlah jemaah Haji di hampir seluruh dunia selalu meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tak jarang para pendaftar Haji, khususnya di Indonesia, harus menunggu bertahun-tahun lamanya agar dapat berziarah ke Mekkah pada saat bulan Haji tiba. Meski demikian, Haji yang sejatinya merupakan ibadah yang didasari oleh semangat keimanan tampaknya mulai bergeser menjadi ritual tahunan yang tak jarang didasari oleh kepentingan ekonomi atau politik yang bersifat keduniaan.
Makna sebuah perjalanan spiritual yang melekat dalam ritus-ritus Haji saat ini cenderung dipahami secara instan hanya untuk memperoleh prestise secara sosio-budaya dalam lingkup masyarakat Muslim. Tak hanya berlaku untuk masyarakat Muslim yang berhaji, tetapi pemerintah pun seakan ikut memburu prestise dalam bentuk kepentingan bisnis, ekonomi dan politik. Padahal, melihat kepada sisi historisnya, Haji yang dijalankan dengan  spirit keimanan akan membentuk peningkatan kesalehan baik secara individu maupun sosial. Hal ini yang seringkali luput dari kondisi gejala keagamaan seperti Haji, berbeda dengan ritus-ritus wajib lainnya, seperti Shalat, Zakat atau puasa di bulan Ramadhan.
Secara historis, Haji mengalami transformasi yang cukup panjang terutama pergeseran fungsi-fungsinya dari yang sifatnya keagamaan menjadi bernuansa duniawi. Kita bisa saksikan bahwa di seluruh negara mayoritas Muslim, pemerintahannya mengurus jamaah-jamaah Haji yang dipimpin oleh seorang ketua ziarah (Amirul Haj). Seorang Amirul Haj akan menunjuk seperangkat petugas yang akan membantu dalam seluruh proses pelaksanaan Haji.
Sebagai sebuah hajatan besar, berbagai kepentingan keduaniaan terlibat dan ikut ambil bagian didalamnya yang jelas telah mengaburkan makna spiritual ziarah Haji yang sebenarnya. Jika dahulu para peziarah yang akan berhaji cenderung memanfaatkan perjalanan panjangnya untuk bertemu dengan para ulama-ulama lainnya untuk hanya sekedar menguji tingkat pengetahuan agamanya, atau tanpa ragu-ragu para peziarah Haji berangkat dengan membawa barang-barang dagangan mereka, maka saat ini para peziarah Haji banyak yang kehilangan makna spiritualnya dan lebih memberikan porsi ritual yang hanya bernuansa keduniawian.
Dalam memaknai Haji, sebenarnya banyak sisi historis yang berkaitan dengan penguatan masyarakat Muslim baik secara politik, ekonomi dan budaya waktu itu. Secara geografis, Arab merupakan wilayah pertemuan yang strategis diantara Arabia Selatan dan Utara hingga ke Irak, Syiria dan Palestina. Kondisi wilayah ini juga diperkuat oleh adanya mata air abadi yang disebut Zamzam yang pada waktu itu menyedot perhatian banyak pihak. Mata air yang seakan tidak pernah habis hingga saat ini merupakan oase padang pasir yang dianggap sebagai sebuah berkah dan keajaiban.
Arab sebagai media pertemuan besar masyarakat Muslim melalui Haji, seharusnya dapat memberikan respon terhadap kemajuan peradaban dan budaya Muslim saat ini. Namun kenyataanya, keringnya makna historis dalam Haji yang saat ini terbentuk, justru membuat sekat-sekat dunia Muslim bertambah banyak. Peradaban Muslim tetap terpuruk, jatuh dalam serangkaian perang saudara, terorisme, radikalisme dan perebutan kekuasaan. Haji yang semestinya membentuk transformasi dari sekedar ritual menuju spiritual dengan meningkatkan kesadaran keberagamaan, kesalehan, persatuan dan kesatuan justru hanya mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok keagamaan, perebutan kekuasaan politik dan tak jarang hanya menjadi sekedar ajang bisnis yang mengeruk banyak keuntungan duniawi.
Kita tentu terhenyak, ketika Ramadhan yang baru saja kita lewati, serangkaian ulah teroris yang tidak bertanggungjawab justru silih berganti menghantam negara-negara Muslim. Leledakan bom justru  terjadi di Madinah, Jeddah, Istanbul, Baghdad, Bangladesh dan entah di negeri Muslim manalagi. Sebagian bumi Muslim seakan tidak aman, karena ulah segelintir mereka yang mengaku Muslim tetapi putus asa, atau tidak suka dengan ulama, penguasa Muslim atau pihak Barat yang memang mengendalikan kekuasaan di hampir seluruh bumi yang didiami mayoritas Muslim ini.
Sebagai seorang Muslim yang beriman semestinya kita menyadari bahwa setiap pemaknaan spiritualitas keberislaman dan keimanan  yang sedang kita jalani merupakan harapan menjadi Muslim yang rahmatan lil ‘alamin sebagaimana dahulu Nabi Muhammad inginkan. Maka, melalui Haji dengan menghayati nilai-nilai spiritual dalam setiap ritusnya hendaknya akan meningkatkan aspek keberagamaan yang lebih bernuansa humanis. Sebagaimana makna historis dalam Haji yang dapat menguatkan fondasi budaya, politik dan ekonomi masyarakat Muslim melalui pertemuan besar di Mekkah dan Madinah yang dahulu telah dilakukan sejak masa Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad, seharusnya menyiratkan sebuah masyarakat Muslim yang berperadaban, berkemanusiaan dan berkeadilan.
Wallahu a’lam bisshawab     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H