Ilustrasi opini sebenarnya adalah sebuah gambar karya seni, sesuai ketentuan gambar tersebut tidak bisa ditampilkan di sini. Silakan dilihat pada link yang ada di akhir opini ini.
***
Perenungan ini menghadapkan kita pada sebuah dilema yang merasuk jauh ke dalam lubuk hati seorang pendidik, yang kini berperan dalam dunia serba digital.Â
Dunia di mana hadir tidak lagi memerlukan kehadiran fisik; interaksi tidak lagi memerlukan tatapan mata.Â
Murid-murid yang duduk di balik layar, dengan wajah yang tertutupi oleh nama pengguna dan ikon yang hampa dari ekspresi, membuat kita bertanya: di mana letak nilai kehadiran? Apakah kehadiran tanpa tubuh itu sungguh kehadiran yang nyata?
Seorang guru masa kini seringkali merasakan kehampaan yang menyelimuti ruang kelas virtual.Â
Bukan karena pelajaran tak tersampaikan, bukan pula karena kurikulum tak dapat dijalankan, tetapi karena hilangnya sentuhan manusiawi dalam proses pembelajaran.Â
Dahulu, setiap percakapan, setiap senyuman, bahkan ketukan kapur pada papan tulis mengandung makna.Â
Kini, yang terdengar hanyalah dengungan elektronik dari koneksi internet yang terkadang terganggu, dan interaksi antar manusia tergantikan oleh komunikasi yang disaring oleh teknologi.
Apakah kita tengah mengajar manusia atau mesin? Inilah pertanyaan mendasar yang mencuat dalam benak seorang guru di era digital ini.Â
Murid-murid kita mungkin hadir secara daring, tetapi mereka hilang secara manusiawi.Â
Mereka mungkin mengerjakan tugas yang diberikan, tetapi apakah mereka benar-benar merenungi pelajaran yang kita sampaikan?Â
Atau apakah hanya sekadar memenuhi tuntutan sistem tanpa rasa ingin tahu, tanpa hasrat untuk memahami lebih dalam?Â
Ini menjadi dilema yang tak terelakkan bagi seorang pendidik yang dulunya merasakan getaran semangat dari kehadiran murid-murid di sekelilingnya.
Mengajar, dalam esensinya, adalah sebuah tindakan yang sarat dengan empati. Itu adalah pertukaran energi antara guru dan murid, sebuah ikatan tak terlihat yang terbentuk dalam kehadiran fisik.Â
Melalui tatapan mata, guru dapat mengetahui siapa yang memahami dan siapa yang membutuhkan bantuan.Â
Melalui gestur, guru dapat menenangkan kegelisahan atau menyemangati yang putus asa.Â
Tapi kini, semua itu sirna di balik dinding digital yang dingin dan tanpa emosi.
Dalam perenungan ini, mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita telah terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai dasar pendidikan?Â
Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan yang ditransfer dari satu otak ke otak lainnya, melainkan sebuah proses membangun karakter dan kemanusiaan.Â
Di dalam ruangan kelas fisik, kita tidak hanya mengajar mata pelajaran; kita membentuk manusia.
Tapi, bagaimana kita bisa melakukannya dalam ruang virtual yang tanpa rasa, tanpa kehadiran nyata?
Di sinilah letak dilemanya: Apakah teknologi benar-benar memajukan pendidikan atau justru memisahkan kita dari esensi mendidik itu sendiri?Â
Apakah murid-murid kita masih memandang kita sebagai guru, atau hanya sebatas instruktur di balik layar?Â
Dan lebih penting lagi, apakah kita sebagai pendidik masih mampu melihat manusia di balik layar yang kita pandangi setiap hari, ataukah kita hanya melihat deretan nama-nama tanpa wajah?
Dilema ini mungkin tak terjawab dalam satu kali renungan, tetapi yang jelas, sebagai pendidik, kita tidak bisa mengabaikan bahwa esensi dari mengajar adalah kehadiran, baik secara fisik maupun emosional.Â
Sentuhan manusiawi adalah inti dari pendidikan, dan meskipun teknologi dapat mempermudah banyak hal, itu tidak dapat menggantikan ikatan emosional yang terbentuk di dalam ruang kelas yang nyata.
Referensi
https://www.artmajeur.com/armanohanyan1992/en/artworks/17705314/from-psychiatric-hospital-series
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H