Murid-murid kita mungkin hadir secara daring, tetapi mereka hilang secara manusiawi.Â
Mereka mungkin mengerjakan tugas yang diberikan, tetapi apakah mereka benar-benar merenungi pelajaran yang kita sampaikan?Â
Atau apakah hanya sekadar memenuhi tuntutan sistem tanpa rasa ingin tahu, tanpa hasrat untuk memahami lebih dalam?Â
Ini menjadi dilema yang tak terelakkan bagi seorang pendidik yang dulunya merasakan getaran semangat dari kehadiran murid-murid di sekelilingnya.
Mengajar, dalam esensinya, adalah sebuah tindakan yang sarat dengan empati. Itu adalah pertukaran energi antara guru dan murid, sebuah ikatan tak terlihat yang terbentuk dalam kehadiran fisik.Â
Melalui tatapan mata, guru dapat mengetahui siapa yang memahami dan siapa yang membutuhkan bantuan.Â
Melalui gestur, guru dapat menenangkan kegelisahan atau menyemangati yang putus asa.Â
Tapi kini, semua itu sirna di balik dinding digital yang dingin dan tanpa emosi.
Dalam perenungan ini, mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita telah terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai dasar pendidikan?Â
Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan yang ditransfer dari satu otak ke otak lainnya, melainkan sebuah proses membangun karakter dan kemanusiaan.Â
Di dalam ruangan kelas fisik, kita tidak hanya mengajar mata pelajaran; kita membentuk manusia.