Kita sering kali tidak menyadari bagaimana perangkat dan media digital secara rutin mengalihkan perhatian kita.Â
Kita coba mengungkap dampak yang lebih dalam dari distraksi digital, terutama bagaimana ia memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.Â
Fokus utama diskusi ini adalah pada regulasi perhatian, sebuah kemampuan yang memungkinkan kita mengontrol dan mengarahkan fokus kita terhadap tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi.
Secara khusus, diskusi kita ini menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki sumber daya yang sama untuk mengatasi distraksi yang dibawa oleh "ekonomi perhatian".Â
Hal ini sangat relevan dalam konteks pendidikan, di mana siswa dari latar belakang sosioekonomi yang lebih rendah cenderung memiliki kemampuan yang lebih terbatas dalam mengatur perhatian mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari latar belakang yang lebih mampu.Â
Ini bukan hanya masalah individu tetapi berkaitan dengan struktur sosial yang lebih luas yang mendukung ketidaksetaraan ini melalui akses yang tidak merata ke sumber daya pendidikan dan teknologi.
Lebih lanjut, diskusi kita ini membahas bagaimana variasi individu dalam regulasi perhatian---baik itu melalui kemampuan internal seseorang atau melalui pengaruh lingkungan stimulus---berakibat pada perbedaan dalam pencapaian akademik.Â
Misalnya, anak-anak yang tinggal di rumah yang padat cenderung menghadapi lebih banyak gangguan dan memiliki lebih sedikit ruang untuk belajar, yang dapat menghambat pengembangan keterampilan eksekutif mereka dan, pada akhirnya, prestasi akademik mereka.
Penting untuk dipahami bahwa jika kita ingin mengatasi ketidaksetaraan ini, perlu adanya intervensi kebijakan yang mendesak untuk mengatasi pengaruh negatif distraksi digital.Â
Hal ini mencakup perancangan ulang cara kita menggunakan teknologi dalam pengaturan pendidikan dan potensi regulasi lebih lanjut terhadap cara platform digital dirancang dan beroperasi untuk menangkap perhatian pengguna.
***
Diskusi ini juga berusaha mengungkapkan bahwa dampak distraksi digital tidak hanya terbatas pada pencapaian akademik, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap kesetaraan peluang.Â
Distraksi digital di ruang kelas, misalnya, dapat meningkatkan ketimpangan yang sudah ada karena anak-anak dari latar belakang kurang mampu mungkin tidak memiliki sarana yang sama untuk mengatasi disrupsi  yang dihasilkan oleh teknologi.
Ini mengarah pada pertanyaan etis yang penting tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, memilih untuk mengatur teknologi dan memastikan bahwa semua anak memiliki akses yang setara ke lingkungan belajar yang kondusif.
Salah satu yang harus disimpulkan dari diskusi ini adalah perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana gangguan digital berinteraksi dengan ketidaksetaraan yang sudah ada.Â
Tidak cukup hanya memiliki akses ke teknologi; kita juga harus memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan dengan cara yang mendukung pembelajaran dan pengembangan kognitif yang efektif bagi semua siswa, tidak peduli latar belakang ekonomi mereka.
Dalam konteks ini, diskusi ini kemudian menyarankan beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak negatif dari distraksi digital.Â
Pertama, sekolah dan pendidik dapat merancang ulang cara teknologi digunakan dalam pendidikan untuk meminimalkan gangguan dan mendukung penggunaan teknologi yang lebih sadar dan terarah yang memperkuat kemampuan kognitif siswa daripada menguranginya.Â
Ini mungkin melibatkan pelatihan guru dalam teknik pengelolaan kelas digital dan integrasi teknologi pendidikan yang lebih strategis.
Kedua, penting untuk mengembangkan kebijakan yang lebih kuat pada tingkat institusional dan nasional yang mengatur bagaimana teknologi dapat digunakan oleh anak-anak di sekolah.
Ini dapat mencakup pembatasan pada penggunaan perangkat pribadi selama jam sekolah atau pembuatan materi pendidikan digital yang lebih interaktif dan kurang mengganggu.
Ketiga, ada kebutuhan mendesak untuk penelitian lebih lanjut yang menggali bagaimana latar belakang sosioekonomi berinteraksi dengan penggunaan teknologi digital dan pengaruhnya terhadap fungsi eksekutif dan prestasi akademik.Â
Pemikiran ini harus mencakup tidak hanya kuantitatif tetapi juga kualitatif, memberikan suara kepada siswa dan guru untuk mengungkapkan bagaimana teknologi memengaruhi proses belajar mereka sehari-hari.
***
Akhirnya, masyarakat harus terlibat dalam diskusi etis tentang teknologi dan pendidikan.Â
Harus ada dialog terbuka antara pembuat kebijakan, pendidik, orang tua, dan siswa tentang cara terbaik untuk memanfaatkan teknologi dalam pendidikan yang menguntungkan semua pihak, terutama mereka yang berisiko mengalami ketimpangan lebih besar.
Walaupun teknologi memiliki potensi untuk mengubah pendidikan secara positif, diskusi ini menunjukkan bahwa tanpa pendekatan yang hati-hati dan pertimbangan terhadap ketidaksetaraan yang ada, teknologi dapat memperdalam ketidaksetaraan daripada menyelesaikannya.Â
Kita perlu berpikir kritis dan bertindak strategis untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak meninggalkan siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H