2 Mei 1996. Pagi itu, langit Surabaya sedikit mendung, namun tidak mengurangi semangat Saleh yang sudah bersiap-siap mengayuh sepedanya mengelilingi kawasan Panglima Sudirman untuk mendistribusikan koran. Meski baru berusia 10 tahun, tanggung jawab telah menghampiri bocah itu lebih cepat dari yang seharusnya.
Dengan kantong koran yang tergantung di bahu, Saleh menepikan sepedanya di depan Hotel Elmi, salah satu rutinitas stop-nya untuk menyebarkan berita hari itu. Di sana, dia sering bertemu dengan berbagai orang, dari turis asing hingga pebisnis lokal. Tapi, hari ini berbeda. Seorang tamu hotel, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal yang menyerupai aktor kawakan, memperhatikan Saleh yang sedang membaca headline dari koran yang hendak ia bagikan.
"Kau ini mesti sudah pinter sekali, Nak, bisa baca koran pagi-pagi begini," kata pria itu sambil tersenyum, menghampirinya.
Saleh, sedikit terkejut, menjawab dengan sopan. "Ah, tidak, Pak. Saya cuma lihat gambar-gambarnya saja," balasnya dengan tawa kecil, sembari menyembunyikan rasa malu.
"Namamu siapa? Apa kamu tidak sekolah?" tanya pria itu, kini dengan nada lebih serius.
Saleh menghela napas, "Saleh Pak. Saya berhenti, Pak. Ayah saya kecelakaan, dan saya harus bantu mencari uang."
Pria itu mengernyitkan alisnya, "Namaku Pak Hasan, Saleh. Boleh saya tahu lebih banyak? Mungkin ada yang bisa saya bantu."
Obrolan mereka berlanjut, dan Saleh menceritakan semuanya dengan detail. Pak Hasan, yang ternyata adalah Prof. Hasan Widjaja, seorang dosen matematika, sangat terkesan dengan kecerdasan alami Saleh.
"Sini, saya kasih kartu saya. Kamu boleh datang ke kampus tempat saya mengajar, kita bicara lebih banyak. Mungkin ada jalan untukmu kembali ke sekolah," kata Pak Hasan, sambil memberikan kartu namanya.
Saleh menerima kartu tersebut dengan tangan yang gemetar, sebuah sinar harapan baru muncul di matanya. "Terima kasih, Pak Hasan. Saya akan datang," ucapnya, penuh antusias.
Dengan senyum yang lebar, Saleh melanjutkan rutenya, kali ini dengan hati yang lebih ringan dan penuh harapan. Hari itu, ia tidak hanya menyebarkan koran, tetapi juga membawa pulang sebuah peluang baru yang mungkin akan mengubah hidupnya.
***
Minggu berikutnya, dengan kartu nama Prof. Hasan Widjaja di kantongnya, Saleh berangkat menuju IKIP Negeri Surabaya di Jalan Ketintang. Ia sedikit gugup, tapi rasa ingin tahunya tentang dunia pendidikan yang sempat ia tinggalkan membuatnya bersemangat. Dengan sepedanya, ia menempuh jalan yang cukup jauh dari rumahnya di pinggiran Surabaya.
Sesampainya di kampus, Saleh terpesona melihat banyaknya mahasiswa yang sibuk berlalu-lalang dengan buku di tangan dan tas pinggang di bahu. Gedung-gedung besar dan pepohonan rindang membuatnya merasa seperti memasuki dunia lain, sangat berbeda dari kesibukan pasar tempat ia biasa menjajakan koran.
Setelah bertanya kepada beberapa orang, Saleh menemukan kantor Prof. Hasan. Ia mengetuk pintu dan disambut dengan hangat.
"Ayo masuk, Saleh! Aku sudah menunggu kedatanganmu," sapa Prof. Hasan dengan ramah.
Dalam kantor yang penuh buku dan paparan ilmiah, Saleh duduk sambil canggung. Prof. Hasan langsung to the point, "Saleh, aku sudah berbicara dengan beberapa kolega dan kami memiliki ide. Kami ingin menawarkanmu kesempatan untuk belajar di sini, di program khusus untuk anak-anak yang memiliki situasi serupa denganmu. Tidak perlu khawatir tentang biaya, kami akan urus semuanya."
Mata Saleh berbinar, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Benarkah, Pak? Saya... saya boleh sekolah lagi?"
"Ya, tentu saja, Saleh. Kita perlu banyak anak muda cerdas seperti kamu untuk masa depan negeri ini," jawab Prof. Hasan, sambil tersenyum lembut.
Saleh hampir tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Terima kasih, Pak Hasan! Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya akan belajar keras. Saya janji!" kata Saleh tersimpuh malu.
"Tidak perlu berterima kasih, Saleh. Ini adalah hakmu untuk mendapatkan pendidikan. Kamu hanya perlu datang dan mendaftar besok, dan kita akan mulai perjalanan baru ini," kata Prof. Hasan, memberikan segala informasi yang diperlukan.
Dengan langkah gembira, Saleh meninggalkan kampus dengan sebuah mimpi baru di hatinya. Ia tahu, mulai saat ini, hidupnya akan berubah. Dan ia siap untuk perubahan tersebut.
***
Hari pertama Saleh di sekolah baru tiba dengan cepat. Dengan seragam sekolah yang masih terasa kaku dan tas pinggang yang diselempangkan di punggungnya, ia berjalan menuju gerbang besar IKIP Negeri Surabaya, tempat program pendidikan khusus untuk anak-anak seperti dia diadakan.
Saat ia memasuki kelas, matanya terbuka lebar melihat anak-anak lain yang tampaknya juga mengalami kehidupan yang serupa; mereka semua tampak sama antusiasnya untuk memulai lembaran baru. Guru-guru menyambut mereka dengan hangat, memperkenalkan diri dan menjelaskan bagaimana program ini dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi penuh mereka.
Saleh duduk di samping seorang anak perempuan yang bernama Aisyah. Dia juga baru di sekolah ini dan tampak sedikit gugup. "Hai, namaku Saleh," katanya, mencoba memecah keheningan.
"Hai, Saleh. Aku Aisyah," balasnya dengan senyum lebar. "Aku senang sekali ada di sini. Rasanya seperti mimpi, ya?"
"Ya, aku juga tidak pernah membayangkan akan kembali ke sekolah lagi," ucap Saleh, senang karena menemukan seseorang yang merasakan hal yang sama.
Pelajaran hari itu adalah Matematika, salah satu mata pelajaran favorit Saleh. Prof. Hasan sendiri yang mengajar, menjelaskan konsep-konsep dengan cara yang membuat setiap anak terlibat dan tertarik. Saleh merasa seperti menemukan dunia yang selama ini hilang darinya, dan ia menyerap setiap kata dengan penuh antusiasme.
Di akhir hari, ketika bel pulang sekolah berbunyi, Saleh dan Aisyah berjalan keluar bersama-sama. "Kamu pikir kita bisa melakukan ini setiap hari?" tanya Aisyah, masih dengan rona kegembiraan di wajahnya.
"Ya, kita bisa," jawab Saleh dengan yakin. "Kita akan membuat semua orang bangga, kamu akan lihat."
Mereka berpisah di gerbang sekolah dengan janji untuk bertemu lagi keesokan harinya. Saleh mengayuh sepedanya pulang dengan hati yang lebih ringan daripada sebelumnya. Ia tahu jalan yang akan dilaluinya masih panjang dan mungkin tidak selalu mudah, tapi dengan dukungan dari sekolah baru dan teman-teman barunya, ia yakin bisa menghadapi apa pun.
Di rumah, Saleh diterima dengan pelukan hangat dari ibunya yang menangis terharu mendengar cerita hari pertamanya. "Kamu membuat ayah bangga, Nak," katanya sambil mengelus kepala Saleh.
Dengan senyum di wajahnya, Saleh tahu ini hanya permulaan. Hari ini, dia adalah seorang murid sekali lagi, dan tidak ada yang bisa menghentikannya untuk bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI