Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Misteri Kompas Majapahit

26 April 2024   11:32 Diperbarui: 26 April 2024   20:15 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi artefak peninggalan sejarah. (Freepik/pvproductions)

Di tengah gundukan tanah dan reruntuhan batu bata kuno situs Trowulan, Profesor Arya Wijaya dan timnya beristirahat di bawah terik matahari. Ayu, seorang mahasiswi arkeologi yang enerjik dan selalu penuh tawa, membuka percakapan.

"Prof, ini artefaknya atau piringan DJ zaman Majapahit?" tanya Ayu, menunjuk pada benda bulat yang mereka temukan. Sebuah kompas tua dengan ornamen yang sangat detail.

Arya tersenyum, mengusap keringat di dahinya. "Kalau saja bisa diputar, mungkin kita bisa putar lagu 'Kerajaan Majapahit on the Mix'," jawabnya sambil tertawa.

Riko, seorang ahli geologi yang juga bagian dari tim, menambahkan, "Yang pasti, ini bukan cuma penunjuk arah biasa. Lihat, ada simbol-simbol yang mirip dengan peta astral."

"Mungkin ini alasan kenapa armada Majapahit bisa menjangkau Madagaskar tanpa Google Maps!" canda Ayu lagi.

Arya menjadi serius, membetulkan posisi kacamata yang tergeser. "Ini bisa jadi bukti bahwa teknologi mereka jauh lebih maju. Kita mungkin melihat bukti pertama dari penggunaan teknologi navigasi canggih di Nusantara."

"Berarti, kita mungkin bukan hanya menemukan artefak," ucap Sari, seorang ahli linguistik, "tapi juga kunci untuk memecahkan misteri sejarah maritim Nusantara."

Arya mengangguk. "Kita perlu mempelajari lebih lanjut. Riko, Ayu, besok kita coba telaah lebih dalam fungsi sebenarnya dari kompas ini. Sari, coba cari literatur atau manuskrip yang mungkin menjelaskan tentang ini."

Mereka semua kembali ke artefak, dengan mata yang bersinar penuh harapan dan rasa penasaran. Meski lelah, semangat mereka tidak pudar, didorong oleh kemungkinan penemuan besar yang bisa mengubah sejarah.

"Siapkan alat, besok kita mulai petualangan sejarah!" kata Arya, mengakhiri hari dengan semangat yang baru.

***

Pagi itu, tim Arya berada di Pulau Bali, di situs purbakala di dekat Gunung Agung. Menyusuri reruntuhan pura kuno, mereka mencari tautan antara artefak Majapahit dengan peradaban lain di Nusantara.

"Kenapa sih kita ke Bali, Prof? Jangan-jangan cuma mau liburan, ya?" goda Ayu, sambil memeriksa peta digital di tablet yang mereka bawa.

"Bali adalah kunci penting, Ayu," jawab Arya sambil tersenyum. "Kita tahu Bali memiliki hubungan erat dengan Majapahit. Mungkin ada petunjuk lebih lanjut di sini tentang teknologi mereka."

Sari, yang sejak pagi asyik membaca manuskrip lama, tiba-tiba bersemangat. "Prof, saya menemukan sesuatu! Ada catatan tentang 'Nvikendra', itu artinya pusat navigasi. Mereka bicara tentang sebuah tempat di Bali!"

Riko yang sedang mempersiapkan peralatan deteksi, ikut bergabung. "Ini bisa menjadi terobosan, teman-teman. Siapa tahu kita menemukan saudara kompas kita di sini."

Mereka berpencar, mencari setiap sudut pura. Ayu, yang paling lincah, memanjat ke bagian atas salah satu candi, berharap mendapatkan pandangan lebih baik.

"Ayo ke sini, teman-teman! Ada semacam ruangan tersembunyi!" teriaknya dari atas.

Mendengar itu, tim bergegas menuju lokasi Ayu. Di dalam ruangan, mereka menemukan prasasti dan artefak yang tampaknya adalah bagian dari perangkat navigasi lain.

"Ini menakjubkan!" kata Arya, sambil mengamati artefak itu. "Lihat, simbol-simbolnya mirip dengan yang kita temukan di Trowulan. Tapi ini lebih detail."

Riko mengambil beberapa foto dan mulai membandingkannya dengan data dari artefak sebelumnya. "Ini bisa menjelaskan bagaimana mereka merancang dan menggunakan teknologi ini secara luas."

Ayu, masih dengan candaannya, berkata, "Kita mungkin perlu mengubah nama Bali menjadi 'Bali Hi-tech Island' setelah ini!"

Semua tertawa, namun di balik tawa itu, mereka menyadari bahwa mereka mungkin sedang menapak di jalur yang akan mengungkap salah satu misteri terbesar sejarah maritim Indonesia.

***

Setelah penemuan mengejutkan di Bali, tim Profesor Arya Wijaya terbang ke Sulawesi, di mana mitos lokal berbicara tentang 'langit yang diukir di bumi'. Mereka tiba di sebuah desa kecil dekat Danau Poso, tempat para tetua desa menyambut mereka dengan hangat.

"Menurut cerita tua, leluhur kami adalah penjelajah yang menggunakan bintang sebagai pemandu mereka," cerita Pak Lanto, seorang tetua desa, saat mereka duduk mengelilingi api unggun malam itu.

Ayu, yang selalu mencari kesempatan untuk bercanda, berkata dengan mata berbinar, "Mungkin mereka punya GPS bintang versi Majapahit, Pak?"

Pak Lanto tertawa. "Mungkin, Nak. Kita punya gua di sini yang disebut 'Gua Astral'. Di dalamnya, ada ukiran yang menyerupai peta bintang."

Keesokan harinya, Arya dan timnya mengikuti Pak Lanto ke Gua Astral. Dinding gua dipenuhi dengan ukiran kompleks yang menggambarkan konstelasi bintang dan berbagai simbol navigasi.

"Ini sungguh luar biasa," Arya berkata sambil memeriksa ukiran dengan lampu senter. "Ini membuktikan bahwa peradaban Nusantara memiliki pemahaman mendalam tentang astronomi dan navigasi."

Sari, yang membawa alat pemindai digital, mulai mendokumentasikan ukiran tersebut. "Saya akan mencoba mencocokkan ini dengan data bintang saat ini dan artefak yang kita temukan sebelumnya."

Riko, sambil membantu Sari, menambahkan, "Ini mungkin bagian dari jaringan pengetahuan maritim yang digunakan oleh pelaut Nusantara untuk berlayar ke berbagai penjuru dunia."

Sementara tim bekerja, Ayu berbaur dengan anak-anak desa, mengajari mereka menggambar bintang di pasir. Tawanya membaur dengan suara ombak di kejauhan, menciptakan atmosfer yang ceria dan penuh harapan.

Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Arya memandang ke arah timnya, merasa bangga. "Kita bukan hanya menemukan artefak," katanya, "tapi juga membuka lembaran baru tentang kehebatan nenek moyang kita di Nusantara."

Mereka duduk bersama, menatap langit yang pernah menjadi peta dan panduan bagi para pelaut kuno, merenungkan betapa luas dan mendalamnya sejarah yang masih harus mereka jelajahi. Kisah petualangan mereka ini mungkin baru saja dimulai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun