Dengan langit yang tertutup awan gelap, Sarah terdampar di pinggir jalan yang sepi, menatap sedan merahnya yang kini diam tak berdaya. Dia menghela napas panjang, mengingat nasihat ayahnya waktu dia pertama kali membeli mobil ini: "Sarah, merawat mobil itu penting, seperti kamu merawat diri sendiri."
Dalam keadaan frustrasi, Sarah menendang ban mobilnya, lalu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya. Sambil menekan tombol, dia mendengar suara jangkrik yang memecah kesunyian malam. Saat ponselnya berdering, hatinya berdegup kencang.
"Halo, Ayah? Mobilku mogok, aku di jalan Dr. Sutomo, dekat perempatan lampu merah," kata Sarah dengan suara sedikit gemetar.
Dari ujung telepon, suara ayahnya terdengar tenang, "Tenang, Nak. Aku akan datang, tunggu saja. Jangan keluar dari mobil, ya."
Tiga puluh menit berlalu, sebuah mobil biru mendadak berhenti tepat di depannya. Jantungnya seakan melompat. Pintu mobil terbuka, dan seorang sosok lelaki tegap melangkah keluar. Sarah memegangi tasnya lebih erat, namun ketegangannya perlahan mereda saat dia mengenali sosok itu.
"Nabil?!" Sarah hampir tidak percaya.
Nabil tersenyum lebar, mendekati Sarah sambil berkata, "Hai, Sarah! Ayahmu yang suruh aku jemput kamu. Aku kebetulan di dekat sini kok."
Sarah merasa lega dan bersalah pada saat yang sama. "Aduh, maaf, Bil, bikin repot aja. Aku tadi panik banget, takut banget."
Nabil tertawa kecil, "Gak apa-apa, aku kan temanmu. Lagian, ini kesempatan langka bisa jadi pahlawanmu, kan?"Â canda Nabil, mencoba mencerahkan suasana.
Sarah ikut tertawa, merasa hangat dengan kehadiran temannya itu. "Iya, kamu memang pahlawan malam ini, Bil."
Mereka berdua memasuki mobil Nabil. Sarah menoleh sekali lagi ke mobil merahnya yang terpaksa ditinggalkan. "Besok aku harus bawa ke bengkel, deh. Semoga gak parah-parah amat kerusakannya."
"Tuh kan, baiknya selalu dengarkan nasihat ayah,"Â kata Nabil sambil mengemudikan mobilnya, meninggalkan jalanan yang sepi di belakang mereka.
Sarah mengangguk, "Iya, pelajaran berharga malam ini. Dan aku untung banget punya teman seperti kamu, Bil."
Kedua sahabat itu tertawa lagi, menembus kesunyian malam dengan canda tawa mereka, meninggalkan kekhawatiran di belakang sambil menuju ke hangatnya rumah.
***
Perjalanan ke rumah Sarah terasa lebih cepat dari yang mereka duga. Jalanan yang sepi membuat mobil biru Nabil melaju lancar, sementara mereka terus berbincang dan tertawa, mengusir ketegangan yang sempat muncul malam itu.
"Jadi, cerita dong, Sarah, gimana bisa mobil kamu mogok begitu saja di tengah jalan?" tanya Nabil, rasa penasarannya muncul di antara tawa mereka.
Sarah menghela nafas, "Sebenarnya sih, ini salahku juga. Aku sering lupa cek kondisi mobil. Ayah selalu ingatkan untuk servis rutin, tapi aku ya gitu deh, selalu sibuk, selalu tunda."
Nabil mengangguk, "Aku tahu, kamu kan manajer proyek itu. Kerjaanmu memang nggak pernah sepi."
"Susah juga ya, Bil, kita ini wanita karir di kota besar, dituntut untuk bisa segalanya. Kadang aku merasa terlalu lelah untuk urusan yang seharusnya simpel," Sarah berbicara lebih serius, refleksi dari pengalaman malam itu membuatnya berpikir.
"Betul, tapi kamu nggak sendiri kok. Kita semua ada di sini satu sama lain," sahut Nabil dengan nada menguatkan.
"Benar juga. Eh, tapi serius deh, Bil, terima kasih banyak ya sudah jemput aku. Aku tadi benar-benar takut, loh. Bayangin aja, di jalan gelap, sendirian. Itu kayak di film-film horror."
Mereka berdua tertawa lagi, tapi kali ini dengan rasa syukur yang lebih mendalam. "Kamu ini, bisa aja bikin situasi tegang jadi lucu. Tapi, serius, lain kali kalau malam gini dan kamu lembur, mendingan pakai taksi online aja deh. Aman dan nggak perlu khawatir mogok di tengah jalan," sarannya Nabil.
Sarah mengangguk, "Iya, nasehat yang bagus. Nggak mau lagi deh aku mengalami seperti malam ini. Bisa trauma aku."
Perbincangan mereka berlanjut dengan lebih banyak canda dan tawa, namun kali ini diliputi oleh pelajaran yang didapat dari kejadian malam itu. Mereka sampai di rumah Sarah, dan Nabil memastikan temannya itu aman sebelum dia meninggalkannya.
"Kamu masuk dulu ya, aku tunggu sampai kamu di dalam," kata Nabil, memastikan keamanan sahabatnya itu.
Sarah tersenyum, "Makasih, Bil. Kamu memang sahabat terbaik." Dia menjabat tangan Nabil sebelum berjalan menuju pintu rumahnya.
Malam itu, di kamar tidurnya, Sarah merenung. "Mungkin aku harus mulai mempertimbangkan nasihat ayah lebih serius. Dan mungkin juga, harus lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman yang peduli seperti Nabil," gumamnya sebelum akhirnya tertidur, lelah namun dengan hati yang lebih tenang.
***
Pagi itu, Sarah selesai salat subuh, dengan perasaan lebih ringan. Semalaman pikirannya bercampur antara mimpi dan kenangan tentang malam sebelumnya. Ia melangkah ke dapur, membuat secangkir teh hangat sambil menunggu sinar matahari yang mulai menyinari ruangan, menyuguhkan suasana yang kontras dengan kegelapan malam yang telah ia lalui.
Sambil menyesap teh, ponselnya berbunyi. Itu pesan dari Nabil: "Pagi, Sarah! Jangan lupa mobilnya ya. Aku bisa temani kamu ke bengkel kalau mau."
Sarah tersenyum membaca pesan itu. Dengan cepat ia membalas, "Pagi, Bil! Iya nih, sudah siap berangkat ke bengkel. Boleh dong ditemani, jadi ada teman ngobrol."
Tak lama kemudian, Nabil datang, dan mereka berdua pergi ke bengkel untuk memeriksa mobil Sarah. Di jalan, mereka terus mengobrol mengenai berbagai hal, dari pekerjaan hingga rencana akhir pekan.
Sesampainya di bengkel, pihak bengkel pun menderek mobil Sarah dari lokasi mobil semalam. Sejam berlalu, mekanik menginformasikan bahwa kerusakan tidak terlalu parah dan mobil bisa segera diperbaiki. Sarah merasa lega. "Aku harus lebih sering memeriksa mobil ini, sepertinya. Kadang kita terlalu sibuk mengurus hal-hal besar sampai lupa hal-hal kecil yang penting," ucap Sarah kepada Nabil.
Nabil mengangguk, "Benar banget. Aku juga sering gitu. Tapi untung ada teman yang bisa mengingatkan dan membantu."
Setelah urusan di bengkel selesai, mereka memutuskan untuk makan siang bersama. Di restoran, pembicaraan menjadi lebih serius. Sarah mulai membuka hati tentang kekhawatiran-kekhawatirannya.
"Bil, terima kasih ya, kamu selalu ada saat aku butuh. Aku tadi malam sempat mikir, kita ini harus lebih sering menghabiskan waktu bersama. Kadang aku terlalu fokus sama pekerjaan."
Nabil tersenyum, menaruh tangan di atas tangan Sarah. "Aku setuju banget. Kita harus lebih sering curhat dan support satu sama lain. Bukan hanya saat ada yang kesusahan, tapi juga buat berbagi kebahagiaan."
Mereka berdua tersenyum, sebuah perjanjian tanpa kata untuk tidak hanya menjadi teman di kala susah, tapi juga di kala senang.
Sambil berjalan kembali ke mobil, Sarah merenung. "Hari ini benar-benar membuka mataku, Bil. Tentang banyak hal."
"Yuk, kita jadikan ini awal baru. Lebih banyak perhatian ke hal-hal kecil, dan tentu saja, lebih banyak waktu untuk kita," ujar Nabil, sambil mereka berdua menyetujui untuk menjadikan ini sebuah komitmen bersama.
Dengan mobil yang sudah diperbaiki dan persahabatan yang diperbarui, Sarah dan Nabil berjanji untuk tidak membiarkan rutinitas menghalangi mereka dari apa yang benar-benar penting---saling merawat dan mendukung satu sama lain dalam segala situasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H