"Tuh kan, baiknya selalu dengarkan nasihat ayah,"Â kata Nabil sambil mengemudikan mobilnya, meninggalkan jalanan yang sepi di belakang mereka.
Sarah mengangguk, "Iya, pelajaran berharga malam ini. Dan aku untung banget punya teman seperti kamu, Bil."
Kedua sahabat itu tertawa lagi, menembus kesunyian malam dengan canda tawa mereka, meninggalkan kekhawatiran di belakang sambil menuju ke hangatnya rumah.
***
Perjalanan ke rumah Sarah terasa lebih cepat dari yang mereka duga. Jalanan yang sepi membuat mobil biru Nabil melaju lancar, sementara mereka terus berbincang dan tertawa, mengusir ketegangan yang sempat muncul malam itu.
"Jadi, cerita dong, Sarah, gimana bisa mobil kamu mogok begitu saja di tengah jalan?" tanya Nabil, rasa penasarannya muncul di antara tawa mereka.
Sarah menghela nafas, "Sebenarnya sih, ini salahku juga. Aku sering lupa cek kondisi mobil. Ayah selalu ingatkan untuk servis rutin, tapi aku ya gitu deh, selalu sibuk, selalu tunda."
Nabil mengangguk, "Aku tahu, kamu kan manajer proyek itu. Kerjaanmu memang nggak pernah sepi."
"Susah juga ya, Bil, kita ini wanita karir di kota besar, dituntut untuk bisa segalanya. Kadang aku merasa terlalu lelah untuk urusan yang seharusnya simpel," Sarah berbicara lebih serius, refleksi dari pengalaman malam itu membuatnya berpikir.
"Betul, tapi kamu nggak sendiri kok. Kita semua ada di sini satu sama lain," sahut Nabil dengan nada menguatkan.
"Benar juga. Eh, tapi serius deh, Bil, terima kasih banyak ya sudah jemput aku. Aku tadi benar-benar takut, loh. Bayangin aja, di jalan gelap, sendirian. Itu kayak di film-film horror."
Mereka berdua tertawa lagi, tapi kali ini dengan rasa syukur yang lebih mendalam. "Kamu ini, bisa aja bikin situasi tegang jadi lucu. Tapi, serius, lain kali kalau malam gini dan kamu lembur, mendingan pakai taksi online aja deh. Aman dan nggak perlu khawatir mogok di tengah jalan," sarannya Nabil.
Sarah mengangguk, "Iya, nasehat yang bagus. Nggak mau lagi deh aku mengalami seperti malam ini. Bisa trauma aku."