Definisi
Istilah "context collapse" muncul dari karya Erving Goffman dan Joshua Meyrowitz  dalam bukunya berjudul "No Sense of Place (1985)".
Istilah "context collapse" dalam konteks media sosial dan komunikasi online pertama kali dibahas secara luas oleh akademisi bernama danah boyd (penulisannya sengaja menggunakan huruf kecil).Â
Boyd adalah seorang peneliti yang fokus pada interaksi sosial melalui media digital. Pekerjaannya sering mengeksplorasi bagaimana remaja menggunakan media sosial dan bagaimana identitas serta hubungan dibentuk dalam lingkungan online.
Context collapse, seperti yang dijelaskan oleh boyd, merujuk pada fenomena di mana berbagai konteks sosial dan audiens yang berbeda bergabung dalam satu ruang komunikasi, seperti yang sering terjadi di media sosial.Â
Dalam ruang tradisional, individu biasanya menyesuaikan perilaku dan komunikasi mereka berdasarkan konteks dan audiens yang spesifik (misalnya, cara berbicara yang berbeda dengan teman dibandingkan dengan atasan).Â
Namun, di media sosial, semua audiens ini sering kali 'bertabrakan', menciptakan satu konteks komunikasi yang homogen.Â
Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau kesalahpahaman karena pesan yang diarahkan untuk satu grup bisa diterima oleh grup lain yang mungkin tidak memiliki konteks yang sama.
Boyd mulai menulis dan berbicara tentang ide ini sekitar awal hingga pertengahan tahun 2000-an.Â
Artikel dan presentasi boyd yang sering dikutip mengenai topik ini menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut mengenai dampak media sosial pada komunikasi dan hubungan sosial.Â
Cara Kerja
Context collapse dalam disinformasi merujuk pada fenomena di mana konteks asli dari informasi, pernyataan, atau gambar hilang atau berubah saat informasi tersebut berpindah dari satu konteks ke konteks lain.Â
Ini sering terjadi dalam media sosial dan komunikasi digital, di mana informasi dipisahkan dari latar belakang aslinya dan dibagikan dalam konteks baru yang mungkin sangat berbeda.
Dampak dari context collapse dalam disinformasi bisa sangat signifikan:
1. Kehilangan Nuansa dan Detail Penting
Ketika informasi dipindahkan dari konteks aslinya, nuansa dan detail yang penting sering kali hilang. Ini membuat informasi tersebut lebih mudah disalahartikan atau digunakan untuk tujuan yang menyesatkan.
2. Manipulasi Mudah
Dengan hilangnya konteks asli, mudah bagi pelaku disinformasi untuk memanipulasi informasi agar sesuai dengan narasi atau agenda tertentu.
3. Mispersepsi dan Misinterpretasi
Audiens yang menerima informasi tanpa konteks asli mungkin menafsirkannya berbeda dari maksud aslinya, yang bisa memicu mispersepsi atau kesalahpahaman.
4. Viralitas dan Echo Chambers
Media sosial mempercepat penyebaran informasi tanpa konteks, sering kali di dalam kelompok atau echo chambers yang hanya memperkuat keyakinan atau prasangka yang ada.
5. Kesulitan Mengidentifikasi Keaslian
Menentukan keaslian dan keakuratan informasi menjadi lebih sulit ketika konteks aslinya tidak jelas atau tidak ada.
Dalam menghadapi context collapse, penting untuk mengkritisi informasi yang kita terima, mencari sumber aslinya, dan mempertimbangkan bagaimana perubahan konteks mungkin memengaruhi makna dan keandalannya.
Contoh
Contoh context collapse dalam disinformasi selama kampanye pemilihan presiden bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Berikut adalah sebuah skenario yang menggambarkan fenomena ini:
Skenario: Video Pidato yang Dipotong
Misalkan, selama kampanye pemilihan presiden, ada seorang kandidat yang memberikan pidato panjang.Â
Dalam pidato tersebut, kandidat tersebut menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan ekonomi dengan nuansa yang kompleks, menggunakan contoh dan penjelasan yang mendalam.Â
Namun, seseorang mengambil sebagian kecil dari pidato tersebut --- sebuah kalimat atau dua yang, ketika diambil di luar konteks, terdengar kontroversial atau bahkan menyinggung --- dan mempostingnya di media sosial.
Akibatnya adalah:
1. Hilangnya Konteks Asli
Video pendek yang dipotong ini tidak mencakup penjelasan atau konteks tambahan yang disampaikan oleh kandidat. Sehingga, pesan aslinya yang kompleks dan matang berubah menjadi satu yang sederhana dan mungkin menyesatkan.
2. Penyebaran Cepat
Klip yang dikontekstualisasikan ini menyebar dengan cepat di media sosial, sering kali tanpa penjelasan tambahan.
3. Reaksi Berbasis Misinformasi
Orang-orang yang melihat klip tersebut mungkin bereaksi berdasarkan konten yang terbatas itu saja, tanpa menyadari bahwa ada konteks tambahan yang penting.
4. Pemanfaatan Politis
Lawan politik atau kelompok tertentu mungkin menggunakan klip tersebut untuk menyerang karakter atau platform kandidat, meski berdasarkan narasi yang tidak lengkap.
5. Kesulitan Memperbaiki Persepsi
Sang kandidat dan tim kampanyenya mungkin akan kesulitan memperbaiki persepsi publik karena video asli yang lebih panjang dan kontekstual tidak seviral versi yang dipotong.
Dalam kasus seperti ini, context collapse menyebabkan informasi yang seharusnya kompleks dan bernuansa menjadi terdistorsi, yang mempermudah penyebaran disinformasi dan memengaruhi persepsi publik terhadap kandidat.Â
Pentingnya verifikasi dan pencarian konteks asli dalam konsumsi informasi menjadi sangat krusial dalam situasi seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H