Akar dan Buah Sebuah Masa
Karya. Syahida Kodra Tullah
Siang ini matahari begitu kejam. Awan yang malu hadir di langit yang begitu terang, membuat sinarnya yang panas menyengat begitu saja menyentuh jalan. Membakar setiap bagiannya, membuat anak-anak yang sedang bermain bola berjalan berjingkat, tidak tahan dengan aspal yang terbakar hingga mendidih, sampai-sampai mungkin bisa membuat sebutir telur masak tanpa minyak.
Liana membuka pintu rumahnya hendak keluar menyiram tanaman. Ia takut disebabkan cuaca yang panas membuat tanaman-tanaman kesayangan mamanya mati. Apalagi tiga hari yang lalu sebelum mamanya keluar kota, ia sempat memberi pesan kepada Liana untuk merawat tanaman-tanaman itu. Gadis berusia 16 tahun itu menyipitkan mata saat tepat sinar matahari membuat pedih kornea matanya.
Ia tak sanggup melangkah keluar, cuaca hari ini sangat panas. Sesekali ia berjalan cepat dan berjingkat menuju alas kakinya. Sungguh indah tanaman yang sedang ia siram saat ini. Beberapa bunga mawar dan tulip, serta tanaman lainnya tumbuh subur dalam rawatan sang mama. Beberapa menit saat fokus menyiram, sebuah deru motor terdengar berhenti di depan rumah gadis itu. Ia secara sadar memalingkan tubuhnya menatap ke arah lelaki dengan jaket hitam yang turun menghampiri sebuah kotak surat dan paket di halaman rumahnya, lalu meletakkan sesuatu dan tidak lama pergi kembali mengendarai motornya. Sepertinya ia tidak melihat keberadaanku di sini pikir Liana. Tetapi kenapa bisa?
Liana mendekati kotak di halaman rumahnya itu. Ia menjulurkan tangannya mengambil sesuatu yang baru saja dimasukkan lelaki tadi ke dalam kotak tersebut. Tak lama seekor kucing datang menjilati kakinya. Gadis itu terkejut, ia menatap nanar kucing yang menggemaskan itu. "Kamu lucu sekali!" Ia menggendong kucing itu sembari masuk ke rumah dengan membawa sebuah amplop cokelat yang baru ia ambil di dalam kotak tadi.
"Kucing ini sangat menggemaskan, tetapi dia datang dari mana? Apakah sang pemiliknya tidak mencari keberadaan kucing ini?" gumam Liana bertanya. Tak ada siapa pun di rumah saat ini. Ia hanya sendiri. Beberapa hari kemarin sejak mamanya keluar kota, ia ditemani oleh sang nenek. Tetapi, sang nenek sudah pulang kemarin dikarenakan ada pekerjaan. Perlahan gadis itu mengelus kucing di pangkuannya sembari membuka isi amplop tersebut. Gerak tangannya terjeda sesaat suara ketukan pintu terdengar. Liana melepaskan sang kucing dan amplop dari tangannya dan berjalan menuju pintu. Tak disangka saat ini sang mama berada di hadapannya.
"Mama tidak jadi pulang di hari lusa?" tanyanya heran. Sebab sang mama mengatakan bahwa ia akan pulang dua hari lagi. Wanita berusia kurang lebih 30 tahun itu menggelengkan kepala dan tersenyum menatap putrinya. "Tidak, Li. Pekerjaan mama sudah selesai, jadi pulang lebih cepat," jawab sang mama.
Liana membantu sang mama untuk membawa beberapa barang bawaannya ke kamar. Setelah beberapa saat mereka duduk bersama di atas sofa ruang tamu. "Ma. Tadi aku didatangi seekor kucing yang sangat menggemaskan," ucap Liana membuka percakapan. "Oh ya? Di mana? Mama mau melihatnya," balas sang mama cukup girang. Liana sempat kebingungan, ia baru tersadar bahwa sedari tadi sang kucing tidak ada lagi dalam peredarannya. Ia berjalan bolak-balik ke arah dapur menuju kamarnya untuk mencari keberadaan kucing tersebut. Nihil, ia tidak menemukannya. Melihat Liana yang kebingungan sang mama memberhentikan tingkahnya. "Sudahlah Liana, mungkin ia keluar atau sudah pulang ke rumah pemiliknya," ujar sang mama.
Liana berhenti, ia duduk kembali di sebelah mamanya. "Sepertinya iya. Tapi cepat sekali, padahal aku baru saja bertemu dengannya," keluhnya sedikit tidak terima. Sang mama menatap putrinya itu tersenyum. Ia mengelus rambut indah milik Liana. "Tidak apa-apa Liana. Oh iya, ini amplop apa?" tanya mama Liana melihat amplop yang berada di depan mereka. Liana kembali teringat, ia masih penasaran dengan isi amplop tersebut. Sedari tadi ia seperti selalu dialihkan untuk membukanya.
Panggil saja kucingnya dengan panggilan Choco. Mamamu juga saat ia pulang hari ini pasti suka dengannya!
Membingungkan, kenapa bisa amplop itu berisi sebuah surat yang isinya seolah-olah terjadi. Bukan seolah-olah, tetapi benar sudah terjadi. Dari mana penulis surat itu tahu tentang kucing dan mamanya yang pulang hari ini?
Liana menatap nanar mamanya, "Mama yang membuat surat di amplop ini?" tanyanya. "Mama saja baru sampai ke rumah, Liana. Untuk apa juga mama mengirimkan surat, lebih baik mama langsung menyampaikannya kepadamu kalau ingin memberi pesan," jawab sang mama. Cukup membuat pertanyaan di benak Liana. Tetapi ia tidak memperdulikannya. Sudahlah, mungkin itu keisengan orang dan kebetulan saja benar terjadi.
**
Hanya pedar lampu jalan dan rembulan yang membuat terang tepat di kawasan rumah Liana. Tidak banyak suara deru motor, sebab rumahnya cukup jauh dari pemukiman. Hanya ada sekitar lima rumah di daerah itu. Sunyi dan cukup dingin, terdengar beberapa kicauan burung yang sepertinya mencari tempat untuk tinggal sebentar atau bahkan selamanya. Sesekali embusan angin melewati ventilasi kamar Liana dan masuk ke dalam telinganya perlahan. Gadis itu masih fokus membaca sebuah buku sejarah di depannya. Sebenarnya ia tak cukup suka membaca sejarah, tetapi itu sudah menjadi kebijakan sekolahnya setelah pergantian kurikulum. Cukup membosankan, tetapi kehidupan baginya harus tetap dijalani walaupun seperti itu.
Beberapa lama setelah menatap buku, gadis itu turun menuju dapur untuk mengambil air minum. Baru saja ia menjulurkan gelas ke arah dispenser, seekor kucing tadi siang datang lagi menghampirinya. Sama dengan saat pertama bertemu, kucing itu lagi-lagi menjilati kakinya. Sebab ia cukup kesepian juga, ia membawa kucing itu masuk ke kamarnya. "Aku akan memanggilmu Choco, seperti yang dikatakan dalam surat tadi," ucapnya.
Ia kembali teringat, bisa-bisanya dalam sekejap ia mempercayai isi surat tadi. Tapi ya sudahlah, Liana tak memusingkannya. Ia lanjut mengelus sang kucing yang berada di sampingnya sampai ia terlelap untuk beberapa saat.
***
Liana berjalan menyusuri sebuah jalan setapak yang cukup gelap. Seperti tidak ada penerangan di sana kecuali pedar rembulan. Lebih buruk dari kondisi di daerah rumahnya. Ia sesekali menatap pohon dan rumah-rumah di sekitar perjalanannya itu. Tidak lama kemudian di pertengahan jalan ia menemukan Choco, Liana langsung segera mengikuti kemana arah kucing itu pergi. Sepertinya ia mau menunjukkan suatu tempat pikir Liana.
Cukup jauh berjalan, tetapi tidak ada rasa lelah yang dirasakan Liana. Sampai sang kucing berhenti di suatu tempat. Tak sadar, ternyata perjalanan yang ia lakukan sampai matahari terbit. Di depannya saat ini terlihat sebuah gunung gundul, bukan lagi hijau. Tetapi seperti tempat yang sangat sering terjadi longsor. Di kaki gunung itu tepat ada beberapa rumah-rumah yang sepertinya masih dihuni. Belum sampai, ternyata Choco masih berjalan menuju ke salah satu rumah di ujung jalan itu. Tepat, kucing itu berhenti. Seseorang keluar dari rumah tersebut. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun yang menatap nanar Liana. Ia tersenyum, lalu mengajak Liana untuk masuk ke dalam rumahnya.
Ia cukup kebingungan. Siapa perempuan itu? Kenapa ia tersenyum kepadaku? Pertanyaan itu mengitari kepala Liana. Ia berjalan dan memedarkan pandangannya menatap setiap sudut ruangan di rumah wanita itu. Melihat beberapa foto-foto dan duduk di sebuah sofa pada ruang tamu. "Kami sudah lama menunggu kedatanganmu. Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana kami hidup di saat sekarang?"
Perkataan dan pertanyaan wanita itu membuat terkejut sekaligus bingung Liana. Apa maksud dari perkataan wanita ini?
"Maaf, saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap Liana tersenyum kepada wanita itu. "Kamu sungguh tidak tahu mengapa kamu didatangkan ke sini?" tanya wanita itu yang membuat Liana semakin kebingungan.
Terpotong. Sebelum Liana menjawab pertanyaan itu, seorang gadis seusia Liana datang dengan membawa sebuah berita. "Ma, sepertinya sebentar lagi akan terjadi longsor. Kita harus segera pergi terlebih dahulu menyelamatkan diri, takutnya rumah kita akan terkena juga," ucap gadis itu tergesa-gesa dan panik.
Mereka berdua bergegas lari dan keluar rumah. Secara cepat wanita itu juga menarik tangan Liana dan mengajaknya untuk keluar. Masih dalam keadaan yang bingung, Liana mengikuti mereka berlari keluar rumah. Terlihat di jalanan itu orang-orang keluar dari rumahnya dan berlari untuk menyelamatkan diri. "Longsor belum terjadi, tetapi kenapa kalian sudah ketakutan seperti itu?" tanya Liana.
"Semuanya terjadi tanpa ada kendali dan kami hanya mengikuti setiap arahan dari pemerintah dan badan yang memprediksi tentang bencana ini," jawab gadis yang berlari di sebelah Liana saat ini. Tidak lama, mereka sampai pada posko antisipasi bencana. Sudah banyak sekali orang-orang yang berada di sana. Semuanya seperti ketakutan, padahal hanya terjadi longsor saja. Sesaat menatap segala raut orang-orang di dalam posko tersebut, Liana menatap kembali ke arah gadis di sebelahnya. Sebelum Liana berbicara, gadis itu terlebih dahulu menjulurkan tangannya kepada Liana.
"Aku Gia. Kamu pasti Liana." Gadis itu tersenyum. Liana terkejut, tidak percaya. Ia saja tidak mengenali gadis itu, kenapa tiba-tiba ia mengetahui namanya.
"Iya, namaku Liana. Kenapa kamu bisa tahu?" tanyanya penasaran.
"Sebab kamu datang untuk menyelamatkan kami," jawab gadis itu.
"Hah?..."
Sebuah tamparan halus terasa di pipi Liana saat ini. "Li, bangun. Sekolah! Nanti kamu telat." Panggilan itu berhasil membangunkan Liana yang tertidur sangat nyenyak. Ia membuka matanya yang masih terapit cukup rapat. Ia perlahan membuka penglihatan dan sorot matanya menatap ke arah mamanya yang sedang membuka tabir jendela kamarnya. Sudah jam 7 pagi, ia akan terlambat untuk berangkat ke sekolah. "Sudah mama bilang, jangan tidur terlalu larut, nanti kamu akan terlambat bangun untuk berangkat sekolah," ucap sang mama. Liana langsung terburu-buru untuk mandi dan bersiap berangkat ke sekolah.
Saat berada di kelas, Liana beberapa kali mendapat teguran dari sang guru dikarenakan sibuk melamun. Tidak banyak yang ia pikirkan, hanya saja masih penasaran dengan mimpinya tadi malam. Seperti nyata, tak ada ia rasakan itu adalah sebuah mimpi. Setelah beberapa kelas sudah selesai, ia berjalan menyusuri beberapa ruangan menuju ke perpustakaan. Pikirannya kosong, ia juga tak sadar sebelum sesaat temannya menepuk bahu sebelah kirinya.
"Jangan terlalu sering melamun, Li. Aku melihatmu sedari pagi sering melamun. Mengapa? Sedang ada masalah?" tanya Mia, temannya. Liana belum bisa menjawabnya, ia masih melanjutkan perjalannya menuju perpustakaan bersama teman perempuannya itu.
"Aku semalam bermimpi tentang sesuatu. Tetapi itu tidak terasa seperti mimpi, ia seperti nyata dan benar-benar terjadi," ucap Liana membuka percakapan saat di dalam perpustakaan.
"Mungkin kamu terlalu lelah. Jadinya merasakan mimpi itu seperti nyata," balas Mia.
"Tetapi, Aku cukup yakin kalau mimpi itu nyata. Aku seperti berada di sebuah tempat yang cukup mengerikan. Beberapa bencana seperti rutin terjadi di sana, orang-orang penuh ketakutan," lanjut Liana menceritakan.
"Sudahlah Liana, jangan terlalu dipikirkan. Kita fokus saja belajar. Oh ya, peraturan pemerintah terbaru katanya sudah disahkan. Apakah kamu mengikuti perkembangan berita itu?" Mia menyampaikan sebuah pesan dan bertanya.
"Aku tidak peduli dengan peraturan pemerintah, biarlah bagaimana mereka mengurus negeri ini sesuai dengan pikirannya," jawab Liana tak mau berurusan dengan politik.
Sudah cukup sore. Waktu berjalan begitu cepat, Jalan-jalan sepanjang menuju rumah Liana dipenuhi dengan debu dan polusi udara saat ini. Sesaat sampai di depan rumahnya, Liana turun dari sebuah taksi yang mengantarkan. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, cuaca hari ini tidak cukup panas seperti hari kemarin. Liana perlahan berjalan membuka pintu rumahnya, setelah ganggang pintu ia kaitkan ke bawah, kucing yang menggemaskan hadir kembali menyambut gadis itu.
"Kasih makan itu kucingnya, Li. Sepertinya ia kelaparan," ucap sang mama yang sedang sibuk menyiapkan makanan di meja makan. "Iya, Ma. Aku mau bersih-bersih dulu sebentar," jawabnya sembari berjalan menaiki tangga menuju kamar.
***
Malam baru saja akan dimulai. Liana duduk bersama dengan mamanya untuk makan malam. Tak lupa, ia juga memberikan sedikit makanan itu kepada Choco. "Kamu sepertinya sangat lapar ya," ucap Liana seraya mengelus punggung kucing itu.
Gadis itu kembali menuju meja makan dan melanjutkan memakan makanan di atas piringnya. Sesekali dengan tatapan kosong, ia hanya mencacah makanan di piring itu. "Li...Liana!" panggil sang mama.
Tersentak Liana terkejut. Ia baru tersadar kalau sedari tadi sang mama memanggilnya. "Jangan sering melamun, nanti akan membuat kamu kosong tanpa pikiran," ucap sang mama mencegat ketidakbiasaan putrinya itu.
"Iya, Ma." Liana tidak mau menceritakan tentang mimpinya tadi malam. Jangankan mamanya, Mia saja yang merupakan teman dekatnya tidak percaya dengan cerita itu. Apalagi mamanya, pasti nanti tanggapan sang mama akan mengatakan cerita Liana di luar nalar.
"Oh iya, Li. Tadi mama sedang menyapu halaman, setelah itu ada seseorang yang mengantarkan sebuah paket atas nama kamu. Mama sudah meletakkannya di depan sofa ruang tamu," ujar sang mama memberitahukan. Tidak bertanya apa-apa, setelah menyelesaikan makan malam. Mereka berdua disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Liana langsung bergegas mengambil sebuah paket atas namanya dan membawa itu menuju kamarnya.
Sebuah kotak. Kali ini ia bukan mendapatkan amplop seperti kemarin, tetapi sebuah kotak cokelat yang berukuran cukup besar. Ia penasaran, apa isi dari kotak tersebut? Perlahan gadis itu membuka kotak yang berada di depannya, sebuah foto pegunungan yang rindang dan hijau tergambarkan di dalam polaroid yang sedang ia pegang. Tidak hanya itu, ternyata ada sebuah surat juga diselipkan di dalam kotak yang ia buka.
"Aku seperti pernah melihat tempat ini, persis. Ini tempat yang sama di mimpiku tadi malam." Ia sesekali berpikir, lalu meyakinkan bahwa tempat di foto itu sungguh benar tempat yang berada di dalam mimpinya. Masih kebingungan. Dengan penuh rasa penasaran ia membuka surat tersebut.
Kita semua cenderung terlalu banyak berpikir untuk berjalan dengan mata tertutup. Kita seharusnya tidak tetap selamanya di jalan umum, kita harus meninggalkan jalur sesekali dan masuklah ke dalam hutan. Setiap kali Anda melakukan itu Anda akan yakin untuk menemukan sesuatu yang belum pernah Anda lihat sebelumnya ikuti itu, mengeksplorasi sekelilingnya, satu penemuan akan mengarah ke yang lain. Sebelum Anda tahu, Anda akan memiliki sesuatu yang layak dipikirkan untuk menempati pikiran Anda untuk semua penemuan yang sangat besar adalah hasil pemikiran.
Semakin dibuat bingung oleh isi surat itu. Kenapa bisa secara kebetulan semua hal yang ia rasakan sangat berkaitan. Apa maksud dari menutup mata? Bagi Liana ia selama ini tidak pernah keluar dari beberapa aktivitas kehidupan yang ia jalani dan harus ia jalani. Apakah ini ada kaitannya dengan kejadian di dalam mimpinya tadi malam? Apa ia harus membuka mata dengan keadaan orang-orang itu?
Pikiran Liana saat ini terpecah, kenapa ia harus memikirkan hal serumit ini? Dan mengapa orang-orang di dalam mimpi itu mengatakan bahwa ia didatangkan untuk membantu mereka?
Belum sempat bertanya saat itu. Liana kembali melipat surat tersebut dan kembali memasukkannya ke dalam kotak. Ia menarik selimutnya dan memejamkan matanya perlahan.
***
Saat ini Liana kembali berada di tempat yang sama. Hanya sebuah kondisi yang berbeda, ia tepat berada di depan rumah yang sama seperti waktu itu. Lagi dan lagi seorang gadis seusianya datang menghampiri dan mengajaknya kembali masuk ke rumah. Suasana di daerah itu tidak jauh berbeda seperti dalam mimpi sebelumnya.
Ia kembali dibawa menuju sofa dan berbincang singkat. "Ayolah, Liana! Ceritakan kepadaku tentang kehidupan di masamu. Kata mama, hidup di masa kalian sangat makmur dan tidak seperti sekarang," ucap Gia membuka cerita kali ini.
"Aku masih bingung, ini hanyalah sebuah mimpi atau kenyataan," ucap Liana kebingungan.
"Aku mempunyai banyak video dan cerita tentangmu dari sang pemuka di sini," ucap Gia kembali tanpa menggubris perkataan Liana. Semakin kebingungan, tidak lama dari itu sebuah layar televisi menyala dan memperlihatkan sebuah video yang bertuliskan tahun 2024. Bangunan-bangunan tinggi dan beberapa pepohonan terlihat masih subur, sangat berbeda dengan keadaan di daerah yang saat ini ia menginjakkan kaki.
"Ini adalah video dari 30 tahun yang lalu. Ayolah Liana, ceritakan bagaimana rasanya menghirup oksigen secara bebas dari pepohonan rindang itu, ceritakan bagaimana kalian tidak perlu memikirkan tentang bencana yang jarang terjadi, tidak seperti kami yang selalu memikirkan bagaimana untuk menghindari bencana yang sangat rutin ini," ujar Gia sedikit berkeluh.
30 tahun yang lalu? Maksudnya? Pikir Liana. Sungguh di luar jalan pemikirannya. Sangat tidak terpikirkan bahwa ia akan berada di masa kekuasaan itu menghancurkan berbagai hidup dan membuat menderita para keturunan-keturunannya.
"Bolehkah kamu tunjukkan kepadaku di mana rumah pemuka di daerah ini?" tanya Liana. "Aku bisa mengantarmu, tetapi kamu harus janji untuk menceritakan pertanyaan tadi nanti." Gia langsung mengajak Liana keluar dan membuka pintu.
Sesaat pintu terbuka, seekor kucing. Choco sudah berada tepat di depan rumah tersebut. "Choco akan mengantarkanmu ke rumah sang pemuka, jadi aku tidak perlu ikut," ucap Gia. Liana hanya mengangguk saja dan mengikuti kucing itu, tidak mau bertanya banyak. Ia hanya ingin mendapatkan semua jawabannya di rumah sang pemuka di situ. Ia pasti tahu cerita-cerita yang sangat jauh dari pemikiran Liana. Setelah beberapa saat berjalan mengikuti kucing itu, Liana berhenti di suatu rumah. Seorang lelaki berusia kurang lebih 50 tahun itu datang menghampirinya. Seperti sudah tahu akan kedatangan gadis itu. Tetapi sudahlah, sudah terlalu banyak kejadian yang terjadi di luar pemikirannya.
"Aku sudah sangat menunggu kedatanganmu. Bagaimana? Apakah kamu sudah menceritakan kehidupan saat 30 tahun yang lalu kepada keturunanmu itu?" tanya lelaki itu. Lagi-lagi ia dibuat bingung dengan pertanyaan tersebut. Apa yang harus ia ceritakan? Ia juga tidak paham dengan alur yang sedang ia jalani ini. Tiba-tiba ia dibuat berpikir sedalam ini. Padahal usianya masih belum cukup untuk menafsirkan segala pertanyaan dan kejadian yang saat ini terjadi.
Melihat raut Liana, lelaki itu tersenyum. "Aku melihat kebingungan itu di matamu, Liana."
Hah? Ia mengetahui namaku, padahal aku belum sama sekali memperkenalkan diriku.
"Kita boleh saja berubah seiring berjalannya masa, tetapi masa tidak akan mengubah siapa kita," ucap sang pemuka itu. "Aku sangat kebingungan dengan perkataanmu. Aku datang untuk menanyakan apa yang membuat aku bisa datang ke mimpi ini?" tanya Liana.
Lelaki itu hanya tertawa, "Kamu tidak sedang bermimpi Liana. Kamu benar-benar hadir di mana hasil dari keputusan di masamu akan terlihat di masa ini," ucap sang pemuka itu.
Sebelum menanyakan beberapa pertanyaan yang berputar di kepalanya. Sebuah percikan air terasa dingin di permukaan wajah Liana. Ia tersontak bangun dan terkejut. "Bangun. Hari ini kamu akan melaksanakan wisuda, Liana. Beberapa jam lagi untuk mendapatkan gelar sarjana, kamu masih saja berkebiasaan bangun terlambat," ucap sang Mama sembari membuka tabir kamarnya.
10 tahun sungguh cepat berlalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI