Mohon tunggu...
syaharani anisa
syaharani anisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

saya senang membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengkaji Hukum Waris Indonesia Karya Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H

16 Maret 2023   19:36 Diperbarui: 16 Maret 2023   19:41 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul : Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, BW

Penulis : Prof.Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H 

Penerbit : PT Refika Aditama

Tahun terbit : Cetakan Kesatu, 2005

Buku Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, BW ditulis oleh Prof.Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. Buku ini membahas mengenai waris yang ada di Indonesia dalam perspektif islam, adat, dan BW. Didalam Buku ini diawali dengan pembahasan hukum waris islam dan hukum waris BW di Indonesia.

Hukum Waris dalam Al-Qur'an diatur dalam surat An-Nisa, Al-Baqarah, dan terdapat dalam surat Al-Ahzab. Waris menurut hukum islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Berbeda dengan perspektif dari hukum Barat yakni seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

Didalam buku ini menjelaskan tentang ahli waris, yakni terdapat 3 golongan ahli waris dalam islam. Yang pertama, Ahli Waris yang ditentukan di dalam Al-Qur'an yakni pembagian ahli waris sudah tidak dapat diubah-ubah atau tetap, ahli waris ini disebut dulu faraa'idh. Ahli Waris ini terdiri atas dua belah jenis, yaitu:

1. Dari garis ke bawah meliputi, anak perempuan, dan anak perempuan dari anak laki-laki.

2. Dari garis ke atas meliputi, ayah, ibu, kakek dari garis ayah, nenek dari garis ayah maupun garis ibu.

3. Dari garis ke samping meliputi, saudara perempuan yang searah dan seribu dari garis ayah, saudara perempuan tiri dari garis ayah, saudara lelaki tiri dari garis ibu, saudara lelaki tiri dari garis ibu, saudara perempuan tiri dari garis ibu, duda, dan janda.

Yang kedua, yakni ashabah yang berarti anak lelaki dan kerabat dilihat dari garis bapak. Ashabah ini terbagi menjadi 3 yaitu:

1. Ashabah binafsih, yakni ashabah yang berhak mendapat semua harta warisan atau semua harta atau semua sisa, ashabah ini lebih mudahnya dilihat dari garis laki-laki semua.

2. Ashabah bilghairi, yakni ashabah dengan sebab orang lain, seorang wanita menjadi ashabah ini jika ditarik dengan seorang laki-laki yang sejajarnya. Semisal anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki, saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki.

3. Ashabah ma'al ghair, yakni saudara perempuan yang mewarisi bersama keturunan dari si pewaris meliputi, saudara perempuan sebanding dan saudara perempuan searah.

Yang terakhir, dzul arham yaitu orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui pihak wanita saja.

Sedangkan didalam buku ini dijelaskan waris dalam sistem hukum perdata Barat yakni bersumber pada BW meliputi harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun, ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, ada beberapa hak-bak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, meliputi:

1. Hak memungut hasil

2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat secara pribadi

3. Perjanjian perkongsian dagang, karena perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero 

Pengecualian lain, yakni ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum Keluarga, namun bisa diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yakni:

1. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak

2. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya

Penulis menulis bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak san kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal tersebut secara tegas dijelaskan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yaitu "sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal". 

Ahli waris menurut undang-undang berdasarkan hubungan darah terdapat 4 golongan, yaitu:

1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau istri yang ditinggalkan atau hidup paling lama. Suami atau istri yang ditinggalkan atau hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau istri tidak saling mewarisi

2. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua atau saudara, laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Namun, bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris.

3. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.

4. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.

Dalam buku ini dijelaskan pula ahli waris menurut BW yang tidak patut menerima harta warisan, terdapat 4 yakni:

1. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris.

2. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.

3. Ahli Waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.

4. Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalukan surat wasiat.

Prof.Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H juga menjelaskan dalam bukunya mengenai sistem kekeluargaan dan hukum adat waris. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yakni:

1. Sistem Patrilineal, yakni sistem kekeluargaan yang menarik dari garis keturunan pihak laki-laki. Sistem ini kedudukan dan pengaruh laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol. Terdapat contoh yang menggunakan sistem ini yaitu pada masyarakat batak.

2. Sistem Matrilineal, yakni sistem kekeluargaan yang menarik dari garis keturunan pihak perempuan. Dalam sistem ini pihak laki-laki tidak bisa menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Contoh sistem ini terdapat pada masyarakat minangkabau.

3. Sistem Parental atau bilateral, yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun ibu. Di dalam hukum waris sistem ini kedudukan sebagai anak laki-laki dan perempuan sama dan sejajar. Yang berarti baik dari anak laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris adat terutama terhadap penetapan ahli waris bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris menggunakan tiga sistem kewarisan, yakni:

1. Sistem kewarisan individual yakni sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, contohnya terdapat di daerah Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain.

2. Sistem kewarisan kolektif yakni sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), karena harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris. Misalnya di "harta pusaka" di Minangkabau dan "tanah dati" di semenanjung Hitu Ambon.

3. Sistem kewarisan mayorat yakni sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Mayorat laki-laki, apabila anak laki-laki tertua atau sulung atau keturunan laki-laki yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, contohnya di daerah Lampung.

b. Mayorat perempuan, apabila anak perempuan tertua berarti ahli waris tunggal dari pewaris, contohnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

Setelah saya membaca buku ini, pengetahuan saya bertambah, yang semulanya pengetahuan saya, waris hanya dilihat dari aspek hukum islam, ternyata terdapat aspek yang berbeda yakni aspek Adat dan BW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun