Mohon tunggu...
syaharani anisa
syaharani anisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

saya senang membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengkaji Pencatatan Perkawinan dan Dampaknya di Indonesia

14 Februari 2023   19:07 Diperbarui: 14 Februari 2023   19:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum Pencatatan perkawinan sudah ada di indonesia sebelum kemerdekaan dengan adanya BW dan HOCI. Sedangkan kemerdekaan muncul adanya Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 32 Tahun 1945. Dan lebih tegas dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI.

Sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 , Adrian Bedner dan Stijn van Huis menjelaskan: "Sebelum Tahun 1974 penduduk Indonesia adalah tunduk pada berbagai peraturan perkawinan yang diwarisi dari pemerintah kolonial. 

Dengan cara yang biasanya bersifat pragmatis, Pemerintah kolonial tidak pernah berusaha untuk membawa semua warga negara di bawah satu undang-undang melainkan hanya ikut campur dalam perihal keluarga jika dibutuhkan oleh tekanan eksternal. Salah satu sistem hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum perkawinan islam. 

Di masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku adalah compendium freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut islam. Yang ditetapkan pada 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh VOC.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-undangan, guna melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan ghalidhan) perkawinan, dan lebih khusus lagi melindungi perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga. 

Dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat tujuan pencatatan perkawinan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, maka dari itu perkawinan harus dicatat. 

Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang pelaksanaannya dimuat dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Bab II tentang Pencatatan Perkawinan. Mencatat akad nikah secara resmi akan merealisasikan maslahat agama dan sosial untuk mencegah pengolakan hubungan perkawinan dan memelihara hak-hak istri dan anak. 

Pernikahan belum menghadapi sebuah masalah pengingkaran ketika masyarakat masih sedikit dan terbatas, namun ketika adanya perubahan dalam kehidupan terkikisnya jalinan ikatan sosial yang mengikat manusia dan semakin banyaknya populasi jumlah manusia, masalahpun semakin bercabang. Lalu norma etika pun semakin rusak, saat itulah sangat sulit membiarkan masalah ini seperti dahulu. Maka dari itu pentingnya pencatatan nikah dilakukan karena banyaknya berhubungan dengan banyaknya aspek.

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang mendeskripsikan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan dan falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. 

Pasal 1 Undang-undang perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagian dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu ikatan merupakan hubungan yang tidak formil dan tidak dapat dilihat, walau tidak nyata ikatan itu harus ada karena tanpa adanya ikatan batin dan ikatan lahir suatu perkawinan itu menjadi rapuh. Perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Pernikahan dalam tinjauan sosiologis pada umumnya nikah di bawah tangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor, yakni: Pertama, berbenturan dengan hukum positif. pernikahan di bawah tangan dilakukan untuk menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan mungkin sulit untuk dilaksanakan. 

Problem tersebut dapat dilihat dalam tiga kondisi, yaitu: a). Pernikahan campuran yakni pernikahan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya. Hal ini memerlukan persyaratan administrasi yang cukup rumit, karena melibatkan hukum kedua negara, b). Tidak memiliki status resmi sebagai warganegaraan (tidak memiliki ktp), c). Terkait aturan, seperti PNS wanita tidak boleh menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat. 

Kedua, faktor psikologis. Nikah di bawah tangan dilakukakan karena faktor psikologis dapat terjadi pada seseorang yang usianya telah memenuhi persyaratan, secara ekonomi tidak ada kendala tetapi masalahnya masih menyelesaikan studi. Untuk menghindari perbuatan dosa maka dinikahkan dibawah tangan. 

Ketiga, faktor ekonomi, faktor ini dapat terjadi di daerah yang terdapat tenaga kerja asing yang berpenghasilan lebih dari cukup dibanding dengan penduduk asli. Perempuan setempat menikah tanpa catatan untuk mendapatkan sumber ekonomi yang layak. Begitu pula bagi laki-laki yang menjadi kendala di ekonomi yang kurang mampu mengurus biaya administrasi pencatatan pernikahan pada petugas yang cukup mahal. 

Keempat, faktor tradisi. Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap bahwa menikah di bawah tangan sebagai "kelaziman", praktis dan ekonomis, sehingga tidak butuh legal formal hukum. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat yang masih melestarikan tradisi leluhur yang sangat kuat.

Berbeda dengan pandangan religius, bahwa pencatatan nikah yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 bila dilihat dari tinjauan ushul fiqh yakni penetapannya berdasarkan kepada maslahah mursalah. Secara teks tidak ada nash yang melarang, begitupun sebaliknya tidak ada nash yang menganjurkannya, tetapi karena keberadaannya yang membawa banyak kebaikan, maka ia diperlukan. Sebagaimana kaidah berbunyi (sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib hukumnya). 

Dalam hal ini, tujuan suatu perkawinan tidak akan terwujud sempurna kecuali dengan satu yang lain, diantaranya pernikahan harus tercatat, maka terkait dengan mencatatkan pernikahan ini menjadi wajib hukumnya. Hanya saja wajib di sini bukan masuk kedalam syarat atau rukun nikah, tetapi ia digolongkan kepada wajib nikah.

Dalam pandangan yuridis fungsi pencatatan perkawinan berdasarkan UU 1/1974 juncto PP 9/1975 merupakan persyaratan supaya perkawinan tersebut mendapatkan pengakuan dan pelindungan hukum dari negara serta mengikat pihak ketiga.

Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk dilaksanakan oleh kedua pasangan pengantin, karena buku nikah yang ia terima adalah bukti yang autentik tentang keabsahan pernikahan tersebut baik menurut agama dan negara. Serta, dengan menggunakan buku nikah itu mereka dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari pernikahan mereka dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Bagaimana juga pencatatan perkawinan itu sangatlah besar Maslahatnya bagi masyarakat, dan apalagi di era globalisasi yang sangat pesat ini. 

Dalam Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentnag perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan, karena semua perkawinan yang ada di Indonesia ini sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. 

Namun, dalam penjelasan umum ditentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hal ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan dan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara.

Adapun beberapa dampak perkawinan yang tidak dicatatkan yakni dampak dari aspek sosiologis. Perkawinan masyarakat hukum adat yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, menurut hukum adat mereka tidak menjadi masalah. Karena, masyarakat hukum adat sudah memiliki pranata hukum adatnya sendiri, yakni secara substansif terkait dengan pencatatan dan pengesahan melalui pranata hukum adat yang berlaku dimasyarakat adat setempat. 

Salah satu contoh yang terjadi pada masyarakat adat AKUR, akta perkawinan disebut Pranata Jatuk Rami. Perkawinan tersebut ditanda tangani oleh sesepuh adat masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR). Perkawinan dalam masyarakat hukum adat menimbulkan hubungan dua keluarga besar menjadi satu dalam ikatan persaudaraan. Jelaslah bahwa akibat hukum perkawinan masyarakat hukum adat tidak menjadi permasalahan yang signifikan, sebab dalam masyarakat hukum adat memang memiliki pranata hukum yang bersendikan pada asas komunal secara ketertiban kehidupan masyarakat hukum adatnya.

Berbeda dampak dalam aspek religius. Akibat hukum jika perkawinan tidak dicatatkan meskipun sudah dilangsungkan sesuai agama yang berlaku dianggap sah, adalah tetap tidak sah di hadapan negara dan hukum, artinya dianggap tidak ada pernikahan. Dampaknya jika dianggap tidak ada pernikahan bagi pasangan suami istri, ketika terjadi perceraian maka istri tidak akan mendapatkan hak-haknya sebagai istri setelah perceraian. Salah satu contoh tidak adanya pembagian harta bersama karena dianggap tidak ada pernikahan. Bagi anak, status anak menjadi anak diluar kawin sehingga anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja. Dari sisi administrasi anak akan tercatat sebagai anak ibu saja, anak luar kawin tidak berhak mewaarisi harta ayahnya.

Dampak dalam aspek yuridis yakni perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi suami dan istri dalam perkawinan tersebut, diantaranya yaitu hubungan hukum antara suami dan istri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah. Serta hubungan warisan. Tidak terdaftarnya masyarakat hukum adat sebagai organisasi penghayat kepercayaan dalam Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki konsekuensi. 

Akibat hukum yang sudah diuraikan merugikan masyarakat hukum adat karena terdapat perlakuan diskriminasi terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Akibat hukum tersebut salah satunya terjadi pada akta kelahiran bagi anak yang belum dicatatkan perkawinannya memang diakta dapat ditulis nama ayah dan ibu. Namun tetap ada perbedaan yaitu catatan pinggir yang menjelaskan bahwa anak terlahir dari perkawinan yang belum dicatatkan. Selain itu masih banyak diskriminasi lain mengenai pengadministrasian terhadap masyarakat hukum adat, padahal dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

disusun oleh:

-Nurul Pujiastuti

-Alya Lathifa Rahmawati

-Dwi Wulandari

-Danu Novianto Nugroho

-Amir Fuadi

-Nova Tri Nugroho

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun