Problem tersebut dapat dilihat dalam tiga kondisi, yaitu: a). Pernikahan campuran yakni pernikahan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya. Hal ini memerlukan persyaratan administrasi yang cukup rumit, karena melibatkan hukum kedua negara, b). Tidak memiliki status resmi sebagai warganegaraan (tidak memiliki ktp), c). Terkait aturan, seperti PNS wanita tidak boleh menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat.Â
Kedua, faktor psikologis. Nikah di bawah tangan dilakukakan karena faktor psikologis dapat terjadi pada seseorang yang usianya telah memenuhi persyaratan, secara ekonomi tidak ada kendala tetapi masalahnya masih menyelesaikan studi. Untuk menghindari perbuatan dosa maka dinikahkan dibawah tangan.Â
Ketiga, faktor ekonomi, faktor ini dapat terjadi di daerah yang terdapat tenaga kerja asing yang berpenghasilan lebih dari cukup dibanding dengan penduduk asli. Perempuan setempat menikah tanpa catatan untuk mendapatkan sumber ekonomi yang layak. Begitu pula bagi laki-laki yang menjadi kendala di ekonomi yang kurang mampu mengurus biaya administrasi pencatatan pernikahan pada petugas yang cukup mahal.Â
Keempat, faktor tradisi. Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap bahwa menikah di bawah tangan sebagai "kelaziman", praktis dan ekonomis, sehingga tidak butuh legal formal hukum. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat yang masih melestarikan tradisi leluhur yang sangat kuat.
Berbeda dengan pandangan religius, bahwa pencatatan nikah yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 bila dilihat dari tinjauan ushul fiqh yakni penetapannya berdasarkan kepada maslahah mursalah. Secara teks tidak ada nash yang melarang, begitupun sebaliknya tidak ada nash yang menganjurkannya, tetapi karena keberadaannya yang membawa banyak kebaikan, maka ia diperlukan. Sebagaimana kaidah berbunyi (sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun menjadi wajib hukumnya).Â
Dalam hal ini, tujuan suatu perkawinan tidak akan terwujud sempurna kecuali dengan satu yang lain, diantaranya pernikahan harus tercatat, maka terkait dengan mencatatkan pernikahan ini menjadi wajib hukumnya. Hanya saja wajib di sini bukan masuk kedalam syarat atau rukun nikah, tetapi ia digolongkan kepada wajib nikah.
Dalam pandangan yuridis fungsi pencatatan perkawinan berdasarkan UU 1/1974 juncto PP 9/1975 merupakan persyaratan supaya perkawinan tersebut mendapatkan pengakuan dan pelindungan hukum dari negara serta mengikat pihak ketiga.
Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk dilaksanakan oleh kedua pasangan pengantin, karena buku nikah yang ia terima adalah bukti yang autentik tentang keabsahan pernikahan tersebut baik menurut agama dan negara. Serta, dengan menggunakan buku nikah itu mereka dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari pernikahan mereka dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Bagaimana juga pencatatan perkawinan itu sangatlah besar Maslahatnya bagi masyarakat, dan apalagi di era globalisasi yang sangat pesat ini.Â
Dalam Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentnag perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan, karena semua perkawinan yang ada di Indonesia ini sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya.Â
Namun, dalam penjelasan umum ditentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hal ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan dan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara.
Adapun beberapa dampak perkawinan yang tidak dicatatkan yakni dampak dari aspek sosiologis. Perkawinan masyarakat hukum adat yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, menurut hukum adat mereka tidak menjadi masalah. Karena, masyarakat hukum adat sudah memiliki pranata hukum adatnya sendiri, yakni secara substansif terkait dengan pencatatan dan pengesahan melalui pranata hukum adat yang berlaku dimasyarakat adat setempat.Â