“Pak, tolong putar mobilnya, kita balik lagi ke Panti Linar ya..”pesanku pada Pak Hardi, supirku.
Ia dan Nadin pun hanya dapat terbengong-bengong melihatku yang setengah menangis, mereka hanya terdiam dan mengikuti permintaanku. Tatapan mereka padaku menyiratkan bahwa mereka mengira aku telah melupakan sesuatu yang begitu berharga di Panti Linar dan butuh untuk mengambilnya kembali…
Mungkin Nadin dan Pak Hardi benar.Aku memang telah melupakan sesuatu milikku yang sangat berharga dan tak dapat kucari penggantinya.
Jati diriku.
Aku meninggalkan jati diriku di Panti Linar.Bukan, aku nyaris meninggalkan jati diriku di negeri tercintaku. Layaknya susu panas yang hanya mampu disimpan di dalam botol kaca. Aku pun juga hanya dapat hidup di negeri tercintaku ini. Indonesia…
Aku memang dapat hidup di negeri orang. Namun, perlahan-lahan aku pasti akan kehilangan jati diriku sendiri. Aku akan kehilangan jati diriku sedikit demi sedikit hingga akhirnya kehilangan semuanya. Jika memang ada yang akan berubah setelah bertahun-tahun kepergianku, pastilah itu diriku…..
Layaknya syair lagu pusaka Tanah Air, tidak ada yang dapat menggantikan tanah airku, Indonesia. Walaupun banyak negeri elok lainnya… Indonesia adalah tanah kelahiranku.Rumahku. Jati diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H