"Setelah tiba di rumah sang ayah yang tidak jauh dari rumahnya, Nabiullah Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh hormat dan rasa bahagia, dan bertanya gerangan apa yang membuatnya datang berkunjung. Fatimah kemudian mengungkapkan suatu pertanyaan mengenai siapakah wanita yang akan memasuki surga pertamakali, apa aku karena aku adalah putri Nabi SAW? Ayahandanya Nabiullah Muhammad SAW, menjawab bahwa wanita yang akan masuk pertamakali di surga itu bernama Mutiah. Dia tinggal bersama suaminya di pinggiran kota Madinah", suara di mikrofon itu terdengar datar tetapi meyakinkan.
"Fatimah Azzahrah ketika meninggalkan rumah ayahandanya, rasa penasarannya  lebih berat dari sebelumnya. Ia bertanya dalam hati, amalan ibadah apakah gerangan yang telah dilakukan oleh Mutiah sehingga Rasulullah SAW, telah menyebutnya sebagai calon penghuni surga dan menjadi wanita pertama  yang akan memasukinya. Maka, pergilah Fatimah Azzahrah pagi-pagi sekali mencari rumah Mutiah, ditemani Hasan, putra kecilnya. Setelah berkeliling cukup lama dan bertanya kesana-kemari, akhirnya tibalah Fatimah Azzahrah bersama Hasan di depan pintu rumah Mutiah". Sang ustadzah melanjutkan ceramahnya, kalimat-kalimatnya lancar dan jelas.
Tidak ada percakapan berarti dalam mesjid sejauh ini. Semua jamaah pengajian perhatian hanya pada suara yang mengalir desar lewat alat pengeras suara, yang menempel di empat sudut mesjid, yang cukup memadai luasnya ini.
"Pintu diketuk, teriring ucapan salam dari Fatimah. Dan terdengar jawaban salam dari dalam, dengan pertanyaan, siapa di luar? Dijawab, saya Fatimah putri Rasulullah SAW bersama Hasan anakku. Dengan perasaan bangga Mutiah bergegas ke pintu karena kedatangan tamu muliah. Pintu lalu terbuka sedikit, Mutiah mengintip dan berkata, aku senang engkau berkunjung ke rumahku wahai putri Rasulullah SAW, tapi suamiku tidak sedang di rumah, saya tidak diizikan untuk menerima laki-laki. Datanglah besok wahai putri Rasulullah, saya akan memintakan izin untuk Hasan. Fatimah Azzahrah kemudian kembali. Sambil berjalan pulang Ia mulai memahami, mengapa Rasulullah SAW menyebut Mutiah adalah penghuni surga. Keesokan hari, Fatimah kembali ke rumah Mutiah, namun ia membawa serta anaknya yang satu lagi, Husein. Kali ini Mutiah kembali meminta maaf, karena suaminya hanya mengisinkan Hasan. Dan Fatimah pulang tanpa rasa kecewa, dan makin maklum akan kebenaran kata-kata Ayahandanya Muhammad SAW. Hari ketiga, Fatimah baru berhasil memasuki rumah Mutiah bersama Hasan dan Husein, saat menjelang kedatangan suami Mutiah pulang dari pekerjaannya". Â Lajut ceramah sang ustadzah, dalam kisah sederhana namun menarik.
Sampai disini, aku merenungi ketaatan seorang istri bernama Mutiah ini. Bahkan namanya telah disebut langsung dalam hadis manusia paling muliah, Muhammad utusan Allah SWT. Manusia panutan seluruh mahluk, Â yang memiliki sifat paling jujur dalam berkata-kata.
Tersimak kembali olehku ceramah lanjut sang ustadzah: "Fatimah Azzahrah sangat terkesan kerapian dalam rumah itu, walau dengan perabot dan alat-alat rumah tangga yang sederhana. Ada semerbak wewangian tersebar di penjuru rumah, sebuah baskom kecil berisi air di depan sebuah kursi yang sandarannya bergantung selembar kain putih bersih berukuran kecil. Dan nampaknya Mutiah sedang memasak makanan kesukaan suaminya, untuk dihidangkan sebentar lagi. Fatimah Azzahrah menanyakan semua apa yang dilihatnya dalam rumah itu. Mutiah menjelaskan: kain ini untuk membasuh keringat suamiku jika ia pulang dari berkeja, dan baskom itu untuk aku membasuh dan membersihkan kakinya jika dia datang. Aku selalu merapikan seluruh perabotan dan tempat tidur dan memercikkan wewewangian untuk menyambutnya datang. Dan masakan kesukaannya, sudah aku hidangkan di meja makan sebelum ia tiba. Lalu cemeti yang terselip di dinding itu, untuk apa, apakah suami sering memukulimu? Tanya Fatimah penasaran. Tidak kata Mutiah, dia lelaki yang baik, sangat menyayangiku. Cemeti itu aku yang siapkan, dan meminta kepadanya untuk mencambukku jika ada pelayananku yang tidak disukainya atau tidak menyenangkan hatinya. Lalu, datanglah suami Mutiah. Ia kemudian disambut: Mutiah meraih tangan suaminya dan membawanya duduk ke kursi yang sudah disiapkan. Perlahan ia melepeskan kancing baju suaminya satu persatu, menyekah keringatnya dengan kain putih, lalu membasuh kedua kaki suaminya. Tidak lama, kemudian Mutiah menuntun sang suami ke kamar mandi, untuk dia mandikan. Sebelum keduanya masuk berdua ke kamar mandi, Fatimah Azzahrah pamit meninggalkan rumah Mutiah. Di tengah jalan pulang, Fatimah merenungi dan menghayati seluruh kata-kata Ayahandanya Muhammad SAW, betapa Mutiah adalah seorang wanita yang sangat muliah, pantas dia menjadi wanita penghuni surga".
Wajah-wajah ibu-ibu pengajian nampak penuh ekpesi berbeda-beda, mendengar kisah sang ustadzah. Mungkin, kisah itu telah membawa persaaan mereka menggeledah keseharian sebagai seorang istri di rumah masing-masing.
"Mutiah itu mutiara surga", berbisik seorang ibu sabahat pengajian yang duduk di sebelah kananku. Aku menyambutnya dengan senyum penuh pengertian.
Seketika, wajah ibuku datang kembali hadir dalam hatiku. Sama persis, ketika aku sedang meletakkan dan melipat jemuran di atas tikar rotan halus warisannya, yang ada di rumahku itu.
Satu jam ceramah ustadzah tentang "istri surgawi", berlalu tidak terasa.
Shalawat mulai dikumandakan untuk memulai azan isyah. Usai isyah berjamaah, majelis taklim pengajian itu juga ikut bubaran. Setiap ibu-ibu majelis taklim, membawa hikmah ceramah itu ke rumahtangga masing-masing.