Dalam dekap tangannya yang lembut, ibu berbisik pelan di telingaku, "Ibu sangat menyayangimu nak, insyaAllah kelak kamu akan menjadi perempuan yang baik, bahagia dan pintar. Ibu akan bangga punyak anak sepintar kamu nanti. Bapakmu juga akan bahagia dengan kamu yang akan menjadi orang yang sukses. Rajin-rajinlah belajar, patuh sama nenek dan kakekmu. Jangan mengira ibu membuangmu di sini, nenek dan kakek akan menjagamu dengan baik, insyaAllah. Ibu akan datang jika rindu kepadamu, dan kita juga akan tetap bertemu lagi kalau kamu liburan sekolah".
Aku tidak bisa menyimak kata-kata ibu. Aku hanya ingin dalam dekapannya terus-menerus malam itu, dan berharap tidak ada pagi yang akan datang.
Terasa hangat nafasnya menerpah wajahku, membuatku makin tidak ingin lepas dari pelukannya. Ibuku, terdiam cukup lama.
Ayah masih duduk di atas sejadah. Dia menyukai duduk berlama-lama selepas shalat isyah, kalau di rumah. Kadang aku melihatnya membaca Al-Qur'an. Terkadang juga aku hanya mendengar dentingan-dentingan tasbih di tangan kanannya.
"Aku serahkan kamu kepada Allah SWT, Dia adalah Tuhan tempat kita semua harus bersandar, menyerahkan semua urusan kita. InsyaAllah, Allahlah yang akan mengurusmu, anakku sayang", suara ibu setengah berbisik. Hampir tak kudengar.
Aku tidak mengerti apa-apa yang ibu katakan di malam yang berat itu. Hatiku tetap tidak tega berpisah darinya. Yang terasa, hanya ada genangan di kelopak mata. Dan pelahan hangatnya jatuh juga membasahi kedua pipiku. Deras mengucur, tanpa suara isak. Kesedihanku mengalir bersamanya dalam diam dan terasa amat dalam di jiwa.
Aku tidak bisa mengerti apapun tentang hal yang sedang menimpaku, saat belia umur seperti ini. Namun aneh, meskipun rasa dalam dadaku merontah tidak ingin berpisah, pada sisi lain dalam hatiku, ada harapan ibu akan datang jika rindu. Ini membuat hatiku agak damai dan bisa menerima keadaan dalam keterpisahan yang akan terjadi segera, esok pagi.
Pagi hari, mobil penumpang bercat merah buram, meninggalkan pekarangan rumah nenek, membawa ibu dan ayah, kembali.
Terasa, aku menjadi seorang anak yatim piatu, setelah kendaraan yang mereka tumpangi menghilang dari pandangan mataku. Kebut kesedihan menyelimuti tubuhku, tenagaku terasa menghilang seketika, tak kuasa aku berdiri memandang kepergian mereka.
Suasana hati seperti ini selalu berulang aku rasakan, setiap kali akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Demikian pula dua saudara laki-lakiku, mendapat perlakuan yang persis sama dengan yang aku alami ini.