Novel "Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara", ceritanya berindikasi tradisi. Tradisi dalam konteks waktu, adalah praktik kehidupan mayoritas era pra-modern (Modernisme, gejalanya menguat di abad 18/19). Diakui penulisnya, bahwa cerita tersebut, bersetting sejarah abad 16.
Tradisi dalam konteks ide, gagasan atau moral, adalah sistem hidup yang mengandung prinsip-prinsip keterikatan manusia terhadap kekuatan supra-manusiawi (Ketuhanan/Dewa-dewi/Alam Roh). Tradisi adalah sehimpun sains dan praktik sacra, atau yang umum kita dengar dalam sebutan local genius.
Tokoh Tappa, yang sedemikian akrab dengan alam, memiliki kemampuan memahami tanda-tanda alam. Kemampuan itu digunakannya dalam kehidupan sehari-hari, ini traditional knowledge atau kearifan lokal (Cerita, no 17).
Ada sains arsitektur, tentang bagaimana prinsip-tradisional dalam membangun sebuah rumah. Transmisi ilmu itu, berlangsung dari generasi tua (Tokoh Kanneq Bolong) kepada generasi muda (Tokoh Tappa), ketika hendak membangun rumah masa depan dengan calon pengantinnya (tokoh Lissiq) (Cerita, no 24).
Tokoh Lissiq, membuat ritual magis, dengan benda bertuah Jambia. Benda itu menjadi perantara pertemuan dirinya dengan roh para lelulur dari keluarga intinya. Sebuah fenomena kepercayaan tradisi, dimana manusia senantiasa (merasa) tidak berdaya dalam kehidupannya, tanpa pertolongan dan petunjuk dari alam-alam gaib: Tuhan, dewa-dewi atau roh leluhur.
Menjadi bukti purba, dari kecenderungan fitrah manusia kepada Kekuasaan Tanpa Batas di luar diri kemanusiaannya. Dan keberadaan guru (tokoh Puang Lakka dan Pue Ammura), dimana Lissiq menimbah ilmu 'raga' dan ilmu 'batin' kepadanya (Cerita, no. 25).
Fenomena yang menunjukkan, bahwa manusia tradisional, sangat mengedepankan pengetahuan, baik yang sifatnya lahir maupun batin. Dan bahwa, kepemilikan ilmu-ilmu lahir dan batin, dimasa tradisi, juga menunjukkan kedudukan yang istimewa dalam masyarakatnya.
Beberapa 'fakta' dalam cerita tersebut, sudah cukup mewakili indikasi, bahwa novel "Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara", berlatar tema Tradisi.
Indikasi historis, dalam novel ini, tidak cukup menonjol. Kecuali di beberapa cerita, yang disebutkan dalam term "sudut peradaban abad 16 di daerah itu" (cerita, no. 41); "kuburan para kepala suku" (cerita, no. 51) dan "pasukan inong bale kerajaan Aceh" (cerita, no. 71).
Ini merupakan problem tersendiri, mengingat bukti-bukti sejarah kehidupan pra-modern itu, seringkali telah tertimbun oleh ruang dan waktu, bahkan mungkin telah musnah.
Â