*Disampaikan dalam Diskusi Buku Novel "Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara", Karya Suradi Yasil, Tgl. 27/1/2024.
Esai Sederhana Atas Novel "Sampan Itu Samar Menghilang Ke Utara", Karya Suradi Yasil*
Suatu saat, ketika sedang bersekolah di Program Pascasarjana Unhas. Saya tergelitik kenangan tahun 1996-1997: ketika menjadi peserta dalam lomba cipta-baca puisi. Diselenggarakan Fakultas Sastra. Gelitik itu,'mendesak' saya menyambangi panggung, yang menjadi saksi sejarah kenangan tempo itu.Â
Saya 'masih' melihat Muhary Wahyu Purba, duduk manis sebagai 'wasit'. Sudirnam HN dan Aslan Abidin, juga turut sebagai peserta. Keduanya begitu 'perkasa' mendeklamasikan puisi.
Usai puas dengan kenangan itu, saya bergegas ke masjid di Fakultas Sastra, untuk tunai sholat dhuhur. Saat sedang melangkah masuk di pintu masjid, di dekat mimbar, Â nampak telah berdiri sosok, melaksanakan sholat sunnat.
Sosok itu, begitu tenang dalam ibadah permulaannya. Membuat saya 'merasa' mengenalnya. Melalui penampilannya yang bersahaja dan rambut sedikit gonrong; nampak seperti seniman-pengarang.
Beberapa waktu berselang setelahnya (2017), dalam sebuah temu ngopi dengan geng fosait: Mahrus Andis, M. Amir Jaya, Is Hakim, Andi Wanua Tangke dan Anwar Nasyaruddin. Dan satu lagi, yang kedatangannya tidak saya nyana. Seorang, yang wajahnya pernah saya 'temu' pertamakali di masjid Fakutas Sastra, ketika itu. Beliaulah, Suradi Yasil.
Dalam bincang ngopi itu, tema kebudayaan dan sastra, menjadi topik dominan. Dan menu andalan waktu itu, adalah pembacaan puisi-puisi Suradi Yasil, baik yang dibaca sendiri oleh penulisnya, maupun dibaca dengan 'bergaya' oleh Is Hakim.
Di sini awal saya mengenal sosok penulis novel "Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara". Seorang yang produktif, dengan beberapa Kumpulan Puisi dan beberapa Novel. Dalam rentang waktu yang panjang dalam proses kreatifnya, tentu menjadi modalitas yang kuat, untuk tidak meragukan 'kualitas' karya-karya sang penulis.
Â