Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peristiwa Kebudayaan, Merindu Tradisi: Katarsis Januari

21 Januari 2024   16:41 Diperbarui: 21 Januari 2024   16:46 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.researchgate.net/

Sejarah manusia, sesunggunya adalah peristiwa kebudayaan. Peristiwa yang timbul, sebagai wujud refleksi dari hazrat dan rasio manusia, akan masa depan. Peristiwa yang umum, kita kategorisasi sebagai kebudayaan.

Peristiwa kebudayaan itu, merentang dari kaki waktu berpijak kini (modern/postmodern), hingga ke waktu lalu, yang 'jauh', bahkan mungkin telah hilang dalam benak 'literatif' publik. Terutama apa yang sering kita namai sebagai Tradisi, kebudayaan pra-modern. 'Bayang-bayang' Tradisi masih sering datang menggoda dalam labirin imaji kita, sebagai mimpi, yang mendesak minta perwujudan, di era hidup modern kita.

Bayangan kebudayaan Tradisional, menjadi obyek rindu, bagi rasio berkebudayaan kita, di tengah kehidupan berbasis sains dan tehnologi mutakhir. Rindu akan 'bayang Tradisi' adalah implikasi kebudayaan modern, yang menyertai manusia, bukan hanya dalam mimpi indah, tetapi sekaligus mimpi buruk, dalam problem-problem fundamental. Yang manusia modern sendiri, 'kelimpungan' mengupayakan penyelesaiannya. Multi krisis yang menerpa kehidupan masyarakat modern:  dari krisis kemanusiaan, alam, keamanan, kesehatan, ekonomi, politik, moral, hingga krisis spiritual.

Modernisme, menggerus 'hakikat' kehidupan manusia dengan motif profannya. Sungguh-sungguh telah menggelisahkan 'orientasi' fitrah kemanusiaan kehidupan yang, bersifat Sakral. Karena itu, masyarakat manusia senantiasa tergelitik untuk merindui kembali 'masa lalunya', dalam kehidupan Tradisi. Sebab Tradisi sebagai kebudayaan, mengandung 'daya goda' sakramental. Tradisi memberi ruang penjelajahan resolusi esensial, terhadap problem-problem fundamental yang ditimbulkan oleh kecangihan modernisme.

Karena itu, rangkaian peristiwa-peristaiwa kebudyaaan, kita produksi tanpa henti, demi kebudayaan Sakral itu. Bentuk-bentuk dan nilai 'kehidupan lampau', kita hadirkan dalam segmen kesenian, kesusastraan, talk-show, seminar dan beragaman media-media bincang lainnya, baik formal maupun non formal. Dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat, maupun individual. Visinya sama: mengembalikan 'identitas kebudayaan otentik masyarakat nusantara'.

Dan, produksi peristiwa itu, juga telah berjalan sepajang usia pemerintahan, dan masyarakat modern. Sejak republik ini didirikan, pertengahan abad 19. 

Festifal F8, Kongres Kebudayaan hingga DKSS, Sulawesi Selatan  

Sulawesi Selatan (Sulsel), sebagai bagian administratif yurisdiksi RI, tidak luput dari upaya produktif, untuk menghidupkan 'kembali' kebudayaannya. Baik sebagai tanggungjawab konstitusional, maupun sebagai gerakan kewarganegaraan.

Adalah Makassar Internasional Eight Festival and Forum (MIEFF), populer dinamai Festival F8. Sebuah event 'bercorak kebudayaan lokal', menjadi peristiwa kebudayaan tahunan, yang diinisiasi pemerintah kota Makassar. Event-nya telah berlangsung 5 atau 6 kali, sejak dihelat pertamakali tahun 2016. Sebuah program 'kreativitas dan kepariwisataan' yang mengarak tema Tradisi, dan didesain dalam skala Internasional.

Mem-fesitival-kan Tradisi lokal, menjadi satu cara baru yang sedang diganderungi, satu dekade trakhir, di tanah air. Kebudayaan lokal, sebagai muatan utama, ditampilkan dalam ragam dan pola kreatif. Citra kebudayaan lokalnya, dibuat kental, melalui ekspresi khas maupun eksperimental. Mengkolaborasikan wujud dan potensi kebudayaan lokal, dengan dinamika kemajuan tehnologi mutakhir, bidang tehnologi informasi (IT), baik yang berplatform digital maupun Artificial Intelligent (AI).

Festival kebudayaan lokal, menjadi bukti bahwa 'kerinduan akan masa lalu' senantiasa hadir dimasa kini. Suatu peristiwa kebudayaan 'rekayasa', yang berimplikasi pada 'pengingatan kembali' terhadap suatu eksistensi kehidupaan yang 'dirindukan'. Di tengah 'kegamangan eksistensial' kita, hidup dalam masyarakat yang dibuai gegap gembita dari hiruk pikuk kebudayaan 'industrial', secara masif.

Bahwa kebudayaan modern yang membesar dan kokoh dalam basis materialisme, dan di drive melalui sains, tidak mampu sepenuhnya 'membunuh' kebudayaan Tradisional kita, yang bertumpuh pada idealita-spritualitas. Karena itu, 'keberadaanya' masih kita rayakan dalam 'ritual' festival-festival.

Masih dalam rangka meneguhkan 'kembali' kebudayaan lokal. Sebuah kongres tentang kebudayaan Sulsel, diselenggarakan sekitar tengah tahun 2023. Temanya: Pemajuan Kebudayaan Menuju Indonesia Emas 2045. Atas inisiator seorang legislator nasional, dan mendapat dukungan antuasias, organisasi budaya dan seni, seniman, budayawan, dan masyarakat, melalui kegiatan pra-kongres, berupa temu 'interaksi budaya' akhir tahun sebelumnya.

Peristiwa itu, juga menjadi semacam, 'penanda hidup' bagi kebudayaan lokal Sulsel. Kebudayaan, yang senasib mayoritas kebudayaan lokal di Nusantara, 'berdenyut dengan detak nadi yang begitu lemah' ditengah dentum nada cadas kebudayaan modern.

Kongres ini, mencoba mengkonseptualisasi problem dasar kebudayaan Sulsel, untuk menjadi acuan konstruksi kebijakan strategi, bagi pemajuan kebudayaan di Sulsel secara khusus, dan kebudayaan Nasional secara umum. Sebuah bukti, bahwa kebudayaan lokal yang tengah 'bergelut dalam kepunahan' itu, masih memiliki pesona seksi nan menggoda, untuk dipikirkan 'kemajuannya'.

Dan bahkan, mendapat tempat 'istimewa' di jantung konstitusi RI (pasal 18B, 28, dan 32), dengan nomenklatur "Kebudayaan Nasional"; "Masyarakat Hukum Adat"; "Hak-hak Tradisional", "Identitas Budaya"; "Pemajuan Kebudayaan"; dan "Nilai-nilai Budaya". Hasil kongres, menghendaki lahirnya regulasi Daerah bagi kepastian pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sepuluh objek pemajuan kebudayaan, menurut UU No. 5/2017.

Peristiwa kebudayaan lain, yang juga bagian dari perjalanan 'kembali' pada kebudayaan lokal, adalah musyawarah besar luar biasa (Mubeslub) Dewan Kesenian Sulsel (DKSS). Organisasi bidang kesenian yang kelahirannya, berbarengan masa orde baru (1969), salah satu wadah sosial berkesenian tertua, yang telah mengambil andil bagi pemajuan kesenian dan kebudayaan umum, di Sulsel. Kiprahnya, dinamis dalam sejarah pemerintahan untuk program-program kesenian, di daerah ini.

Jelang bulan, tutup Tahun 2023, DKSS menyelengarakan suksesi kepemimpinan, secara 'luarbiasa'. Kevakuman organisasi ini, selama dua dasawarwa, menjadi kondisi 'darurat', untuk 'membenarkan' langkah 'luarbiasa', memilih secara aklamasi ketua baru, demi 'gelliat' baru DKSS, sekarang dan masa yang akan datang.

Juga sebuah pertanda, betapa kesenian, sebagai salah satu elementer dasar kebudayaan, senantiasa mendapat tempat untuk diwadahi eksistensinya. Meski, wadah itu telah sekian lama, 'menganggur' tanpa daya. Kini, hidup kembali dengan gairah, yang mungkin lebih bergelora.

Strategi Organik Menghidupkan Kebudayaan Lokal

Tradisi (kebudayaan lokal) adalah wilayah 'bertuan'. Kehidupannya berasal dari nilai-nilai yang mengandung sakralisme. Nilai sakral itulah 'tuan' bagi kebudayaan lokal. Sakralitasnya melungkup dunia universal. Penyematan kata lokal, dilakukan hanya sekadar, untuk menandai 'batas geografis' terkecil (minor) dimana nilai sakral itu masih dipraktikkan. Sementara nilai-nilai profan, dari kebudayaan modern, menempati wilayah geografis terbesar (mayor), dalam implementasi.

Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pokok soal mengenai problem kebudayaan lokal? Atau, apa yang kita definisikan sebagai 'masalah' kebudayaan lokal? Sehingga butuh perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan atas kebudayaan tersebut. Jika ketiadaan kejelasan, mengenai apa yang dipostulasikan sebagai kebudayaan lokal, maka juga 'selamanya' kebudayaan lokal itu, akan kita perlakukan tidak berdasar pada kehendak 'tuannya'.

Kehadiran negara, juga menjadi sebagai salah satu 'faktor penyebab' mengkerdilnya sistem kehidupan tradisional, dimasa lampau. Karena 'negera' merupakan bagian dari kebudayaan modern. Maka kebijakan dalam pengeolaan kebudayaan lokal, tidak dilakukan berdasarkan kehendak 'tuan' dari wilayah kebudayaan lokal itu. Sehingga, strategi 'membangun kebudayaan' bersifat anorganik. Hanyalah, sebuah upaya me-modernisasi kehidupan Tradisioal. Paling jauh, tradisi menjadi bahan 'komoditi' bagi semangat industrialisasi dari modernisme.

Kebudayaan lokal yang Tradisi itu, tetap saja mendekam dalam labirinnya yang sunyi senyap. Nampak bertahan, hanya karena ada peristiwa kebudayaan yang diproduksi, untuk menampilkannya. Tradisi tidak lagi menjadi way of life, bagi penganutnya, karena kebijakan negara, mendorong nilai mayoritas (modernisme), yang bukan Tradisionalisme.

Problem utamanya: 'manusia kebudayaan' sudah lama tercelup dalam profanisme, sehingga 'berat' kembali pada akar primordialnya, sakralisme. Pada esensinya, 'manusia kebudayaan' fitrahnya bersifat Sakral, namun terselubung selaput nilai profan (materialisme/form). Sehingga gerakan pemajuan kebudayaan, patut 'dicurigai' hanya mampu sampai pada batas terluar dari Tradisi, yakni bentuk-bentuk.

Karenanya, strategi kebijakan yang bersifat organik, mungkin dapat menjadi pilihan. Dengan: memandang kebudayaan lokal dalam esensinya sebagai Tradisi (traditio=ikatan surgawi), lawan dari 'ikatan duniawi' (modernisme).

Mendorong 'manusia kebudayaan' untuk mencintai nilai-nilai Sakral dari Tradisionalisme, melalui otorisasi praktik nilai-nilai Tradisional dalam ranah kehidupan modern: dalam beragam segmen kebudayaan.

Dan, tidak terbatas pada bidang kesenian dan kesusastraan, pemikiran/intelektualitas, tetapi juga dalam berbagai level 'status sosial' modern. Terutama dalam bidang kepemimpinan formal politik pemerintahan, korporasi, dan kehidupan sosial kewarganegaraan, dalam berbagai predikasi.

Tradisi tampil, tidak terbatas dalam bentuk otentiknya sebagai bentuk Tradisional, tetapi meluas dalam kerangka bentuk pragmatis kehidupan modern.

Strategi kebijakan organik menghidupkan kebudayaan lokal adalah proses Tradisionalisasi kehidupan modern, melalui kebijakan yang berorientasi pada 'tuan Tradisi', untuk mencapai titik equilibrium peradaban manusia Nusantara. Dimana kebudayaan modern, mengalami transformasi esensial, melalui suatu 'risiko berat' perubahan paradigma: dari human-centrum, ke teo-centrum.

#Sumber Esai: https://www.nusantarainsight.com/opinion, 21/01/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun