Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peristiwa Kebudayaan, Merindu Tradisi: Katarsis Januari

21 Januari 2024   16:41 Diperbarui: 21 Januari 2024   16:46 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.researchgate.net/

Bahwa kebudayaan modern yang membesar dan kokoh dalam basis materialisme, dan di drive melalui sains, tidak mampu sepenuhnya 'membunuh' kebudayaan Tradisional kita, yang bertumpuh pada idealita-spritualitas. Karena itu, 'keberadaanya' masih kita rayakan dalam 'ritual' festival-festival.

Masih dalam rangka meneguhkan 'kembali' kebudayaan lokal. Sebuah kongres tentang kebudayaan Sulsel, diselenggarakan sekitar tengah tahun 2023. Temanya: Pemajuan Kebudayaan Menuju Indonesia Emas 2045. Atas inisiator seorang legislator nasional, dan mendapat dukungan antuasias, organisasi budaya dan seni, seniman, budayawan, dan masyarakat, melalui kegiatan pra-kongres, berupa temu 'interaksi budaya' akhir tahun sebelumnya.

Peristiwa itu, juga menjadi semacam, 'penanda hidup' bagi kebudayaan lokal Sulsel. Kebudayaan, yang senasib mayoritas kebudayaan lokal di Nusantara, 'berdenyut dengan detak nadi yang begitu lemah' ditengah dentum nada cadas kebudayaan modern.

Kongres ini, mencoba mengkonseptualisasi problem dasar kebudayaan Sulsel, untuk menjadi acuan konstruksi kebijakan strategi, bagi pemajuan kebudayaan di Sulsel secara khusus, dan kebudayaan Nasional secara umum. Sebuah bukti, bahwa kebudayaan lokal yang tengah 'bergelut dalam kepunahan' itu, masih memiliki pesona seksi nan menggoda, untuk dipikirkan 'kemajuannya'.

Dan bahkan, mendapat tempat 'istimewa' di jantung konstitusi RI (pasal 18B, 28, dan 32), dengan nomenklatur "Kebudayaan Nasional"; "Masyarakat Hukum Adat"; "Hak-hak Tradisional", "Identitas Budaya"; "Pemajuan Kebudayaan"; dan "Nilai-nilai Budaya". Hasil kongres, menghendaki lahirnya regulasi Daerah bagi kepastian pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sepuluh objek pemajuan kebudayaan, menurut UU No. 5/2017.

Peristiwa kebudayaan lain, yang juga bagian dari perjalanan 'kembali' pada kebudayaan lokal, adalah musyawarah besar luar biasa (Mubeslub) Dewan Kesenian Sulsel (DKSS). Organisasi bidang kesenian yang kelahirannya, berbarengan masa orde baru (1969), salah satu wadah sosial berkesenian tertua, yang telah mengambil andil bagi pemajuan kesenian dan kebudayaan umum, di Sulsel. Kiprahnya, dinamis dalam sejarah pemerintahan untuk program-program kesenian, di daerah ini.

Jelang bulan, tutup Tahun 2023, DKSS menyelengarakan suksesi kepemimpinan, secara 'luarbiasa'. Kevakuman organisasi ini, selama dua dasawarwa, menjadi kondisi 'darurat', untuk 'membenarkan' langkah 'luarbiasa', memilih secara aklamasi ketua baru, demi 'gelliat' baru DKSS, sekarang dan masa yang akan datang.

Juga sebuah pertanda, betapa kesenian, sebagai salah satu elementer dasar kebudayaan, senantiasa mendapat tempat untuk diwadahi eksistensinya. Meski, wadah itu telah sekian lama, 'menganggur' tanpa daya. Kini, hidup kembali dengan gairah, yang mungkin lebih bergelora.

Strategi Organik Menghidupkan Kebudayaan Lokal

Tradisi (kebudayaan lokal) adalah wilayah 'bertuan'. Kehidupannya berasal dari nilai-nilai yang mengandung sakralisme. Nilai sakral itulah 'tuan' bagi kebudayaan lokal. Sakralitasnya melungkup dunia universal. Penyematan kata lokal, dilakukan hanya sekadar, untuk menandai 'batas geografis' terkecil (minor) dimana nilai sakral itu masih dipraktikkan. Sementara nilai-nilai profan, dari kebudayaan modern, menempati wilayah geografis terbesar (mayor), dalam implementasi.

Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pokok soal mengenai problem kebudayaan lokal? Atau, apa yang kita definisikan sebagai 'masalah' kebudayaan lokal? Sehingga butuh perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan atas kebudayaan tersebut. Jika ketiadaan kejelasan, mengenai apa yang dipostulasikan sebagai kebudayaan lokal, maka juga 'selamanya' kebudayaan lokal itu, akan kita perlakukan tidak berdasar pada kehendak 'tuannya'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun