Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Vonis Bebas, Berikut Onggok Jerit Batin Berkeping-keping

3 Oktober 2023   11:41 Diperbarui: 3 Oktober 2023   11:45 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnnindonesia.com/

SEPERTINYA kehidupan kita tidaklah maju ke depan tetapi mundur jauh ke belakang. Kenyataan hidup yang kita lakoni menunjukkan pembenaran akan kalimat yang sedikit bernada filosofis itu. Bahwa 'kejujuran' yang muncul dari mulut penipu hakekatnya adalah kebohongan belaka, bahwa muka manis yang dipasang pada wajah para munafik sesungguhnya perangkap maut bagi yang menikmatinya.

Orang yang telah kita tunjuk untuk memimpin kita, untuk memelekkan mata kita tentang berbagai hal kehidupan manusiawi termasuk kehidupan keadilan, keseimbangan distribusi ekonomi, hak dan kewajiban politik yang stabil, pemerataan kasih sayang kekuasaan pada mahluk-mahluk bangsa setiap saat menikmati rasa duka sejarah, kini berbalik menjadi orang yang seakan-akan mengajari kita menjadi pembohong, menjadi munafik, menjadi penjilat kepentingan tertentu untuk mencari rasa aman politis, berbalik menjadi mimpi buruk bagi kita seperti monster raksasa yang mengobrak-abrik bangunan-bangunan ideal sebuah kehidupan hanya karena (dia) mungkin secara sengaja atau tidak sengaja berpura-pura termasuk orang yang di luar bingkai idealisme tadi sehingga menjadi orang hitam di dalam sistem yang hanya akan membuat malu kewibawaan, ditaksir murah harga diri, dituduh pelacur, mafia ataupun germo oleh sorot mata rakyat yang sekarang ini semakin awas.

Sepertinya bukanlah hal yang mustahil di bumi tempat kita menonton beribu ragam tontonan kehidupan, mulai dari tayangan yang masuk akal sampai visualisasi kehidupan melampaui kesadaran akal, hal mustahil dibolak-balik dan menjadi tidak mustahil begitu pun hal tidak mustahil bisa berlaku hukum yang sama baginya, ketidakbenaran oleh tangan-tangan kreatif sebagian orang yang memang punya potensi untuk 'memunafiki' ketidakbenaran menjadi kebenaran, kebenaran dengan topeng retorika apapun bentuknya kita mempermaklumkan kepada orang lain sebagai ketidakbenaran. 

Keadilan yang sering menjadi mimpi orang-orang yang sulit merasakan keadilan, orang-orang sepanjang pengetahuannya hanya 'menikmati' ketidakadilan pun mengalami nasib sama. Keadilan menjadi bahan baku mainan anak-anak yang memang belum dewasa, menjadi potensi untuk sebuah eksploitasi demi kekuasaan, demi uang dan jabatan.

Dalam bentuk kamuflase apapun entah kamuflase politik, hukum atau undang-undang, birokrasi, administrative sampai kamuflase para 'suporter' untuk menegakkan 'keadilan' dan preman-preman, ketidakadilan itu bisa diperjuangkan hingga titik darah penghabisan untuk menegakkan 'keadilan'. 

Keadilan pada tangan-tangan tukang sulap dengan mantra-mantra hukum, politik, preman, lobi atau ekonomi bisa menyulapnya menjadi merpati-merpati hitam ketidakadilan terbang membentuk lingkaran keindahan yang semu. Hal ini tidak mustahil di negeri yang besar dari tumpukan-tumpukan sampah sejarah, politik, ekonomi dan hukum akibat penerapan kebijakan politik raja yang feodal dan sentralistik, walaupun kemudian mengalami sedikit perubahan warna dan suasana ke arah cakrawala yang sedikit segar dari pandangan demokratisasi tetapi pada saat bersamaan kita masih mencerminkan watak-watak yang sering kita lakukan pada masa lalu sebagai kesalahan, kebobrokan dan ketidakdewasaan bernegara dan kegagalan kita saling memahami.

Sepertinya bukanlah lagi hal yang mengejutkan ketika media-media massa lokal meneriakkan berita sampai serak tentang putusan bebas terhadap seseorang yang secara hukum telah melewati level tersangka sampai pada tahap terdakwa, karena secara hukum pula tuduhan terhadapnya tidak bisa disingkap. Di koran-koran pula orang mulai bertengkar tentang kebenaran -- keadilan. 

Pada forum diskusi kecil-kecilan orang-orang kembali mempertanyakan kebenaran sebuah hukum. Di berbagai tempat di kampus-kampus orang-orang surut mempertanyakan kewibawaan lembaga peradilan. Di trotoar pinggir jalan sampai pada warung-warung kopi sepertinya sesak dengan isu-isu miring dan miris tentang pelecehan terhadap keberadaan hukum, hukum hanya bisa diam seribu kata ketika dihadapannya tegak sosok wibawa kekuasaan yang senang merawat panu-panu feodal sebuah kekuasaan, hukum bisa seketika menawarkan kelaminnya untuk digagahi jika dirayu sosok konglomerat, hukum bisa saja ganti kulit jika disiapkan perangkat yang aman oleh kekuasaan, hukum telah menjadi piranti-piranti permainan yang bisa menghibur dalam ketegangan.

Sepertinya hidup tidak akan pernah punya arti manakala kita malas memanusiakan sesuatu, sesuatu itu bisa kita sebagai manusia atau di luar kita sebagai mahluk yang menyimpan banyak kelembutan Tuhan. Kehidupan hukum tidak akan bermakna ketika para pelaku penegaknya kehilangan niat baik untuk memanusiakan peraturan hukum. 

Hukum dalam keberadaannya sangatlah manusiawi tetapi kehadiran kita sebagai subyek dan obyeknya terkadang tidak memberinya ruang untuk eksis dan mentransformasikan kemanusiaannya kepada kita. Kita kadang membinatangkan keberadaan hukum yang pada titik baliknya adalah kebinatangan bagi kita. Kita mencabut rasionalitas hukum dan kita gantikan dengan logika kambing hitam, logika tukang sulap atau rasionalitas kaki atas kepala bawah. Hukum menjadi lemah dan lumpuh dengan sendirinya sehingga kehilangan kemampuan untuk mengatur pergaulan batin manusia secara damai.

Sepertinya kesia-siaan bagi para teoritis hukum yang telah menghabiskan sebagian waktu hidupnya, yang dengan ikhlas melakukan banyak penelitian demi sesuatu bernama keadilan -- kemanusiaan. Adalah penderitaan batin bagi L.J. Van Apeldorn, keresahan bagi Roscow Pound, kesedihan bagi Aristoteles, Grotius, Hobbes, penindasan batin bagi C. Van Vollen Houven, Mayers dan Immanuel Kant ketika kita copot satu persatu pakaian hukum pada tingkat praktis hingga telanjang bulat, aurat nampak tanpa rasa malu sedikitpun di wajah kita, karena harus dibenturkan dengan kepentingan politik primordial, kepentingan ekonomis tertentu, kepentingan individual yang kaku dan ego. Sehingga benarlah apa yang kadang orang bilang; "teori tidak pernah sama dengan kenyataan".

Kenyataanlah yang membelokkan teori karena kenyataan biasanya pahit apalagi untuk sebuah kejujuran. Kejujuran diatas pundak kenyataan layaknya menelan bom waktu di depan regu tembak dengan senjata tinggal menarik pelatuk dan menunggu hitungan hingga ketiga. Kejujuran begitu berat, pahit bahkan seperti sembilu menyayat rasa. Tetapi bukanlah sesuatu yang sia-sia manakala kejujuran menjadi obyek utama pengajaran moral dari para nabi dan wali. Kejujuran yang ikhlas adalah sumber kemuliaan. Tetapi pernahkah seorang terdakwa menjadi sosok mulia di depan para hakim dan jaksa untuk mengakui kesalahan dan mengakui kebenaran yang dilakukan, tetapi pernahkah seorang hakim atau jaksa mau menjelma menjadi 'nabi' atau 'wali' mengadili seseorang di kursi pesakitan. Tetapi pernahkah mahluk bernama adil itu kita temukan dalam konspirasi hukum antara terdakwa, pembela, jaksa atau hukum yang terlibat dalam jaringan kerja yang samar-samar dalam teropong rohaniah

Kini semuanya tinggal menjadi kenyataan paling jujur bahwa hukum telah membebaskan seseorang yang oleh hukum itu sendiri telah menuduhnya dan mendakwanya sebagai korup dan kemudian memutihkan semua persoalan secara hukum pula.

Sepertinya sepanjang perjalanan sejarah negeri ini, perang antar geng-geng hukum kerap menjadi fenomena di lembaga peradilan. Adil yang menjadi terminal utama semakin jauh dan tak punya alamat yang menentu, ia kadang berada diatas gantungan kunci Mercedes bens atau mendadak bertengger di kursi antik atau seketika nongol di hotel mewah.

Sepertinya kita semua diam-diam meninggalkan jejak-jejak langkah reformasi yang akhir-akhir ini mulai goyah, sepertinya watak yang diwariskan masa lalu terlalu indah untuk kita tanggalkan, terlalu nikmat untuk kita lepas, terlalu merdu untuk kita lupakan. Kita masih saja senang untuk dicaci maki oleh anak-anak kita yang semakin sadar akan kusta-kusta kita, sebagai orang tua, yang semakin didesak oleh kerinduan melihat negerinya 'steril' dari penyakit-penyakit sejarah.

Dan sepertinya kita memang telah kehilangan ruang-ruang waktu untuk semakin sadar akan ketidaksadaran dan kesadaran kita.

28 Maret 1999  

#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Penerbit Tanda Pustaka, 2018. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun