Sepertinya kesia-siaan bagi para teoritis hukum yang telah menghabiskan sebagian waktu hidupnya, yang dengan ikhlas melakukan banyak penelitian demi sesuatu bernama keadilan -- kemanusiaan. Adalah penderitaan batin bagi L.J. Van Apeldorn, keresahan bagi Roscow Pound, kesedihan bagi Aristoteles, Grotius, Hobbes, penindasan batin bagi C. Van Vollen Houven, Mayers dan Immanuel Kant ketika kita copot satu persatu pakaian hukum pada tingkat praktis hingga telanjang bulat, aurat nampak tanpa rasa malu sedikitpun di wajah kita, karena harus dibenturkan dengan kepentingan politik primordial, kepentingan ekonomis tertentu, kepentingan individual yang kaku dan ego. Sehingga benarlah apa yang kadang orang bilang; "teori tidak pernah sama dengan kenyataan".
Kenyataanlah yang membelokkan teori karena kenyataan biasanya pahit apalagi untuk sebuah kejujuran. Kejujuran diatas pundak kenyataan layaknya menelan bom waktu di depan regu tembak dengan senjata tinggal menarik pelatuk dan menunggu hitungan hingga ketiga. Kejujuran begitu berat, pahit bahkan seperti sembilu menyayat rasa. Tetapi bukanlah sesuatu yang sia-sia manakala kejujuran menjadi obyek utama pengajaran moral dari para nabi dan wali. Kejujuran yang ikhlas adalah sumber kemuliaan. Tetapi pernahkah seorang terdakwa menjadi sosok mulia di depan para hakim dan jaksa untuk mengakui kesalahan dan mengakui kebenaran yang dilakukan, tetapi pernahkah seorang hakim atau jaksa mau menjelma menjadi 'nabi' atau 'wali' mengadili seseorang di kursi pesakitan. Tetapi pernahkah mahluk bernama adil itu kita temukan dalam konspirasi hukum antara terdakwa, pembela, jaksa atau hukum yang terlibat dalam jaringan kerja yang samar-samar dalam teropong rohaniah
Kini semuanya tinggal menjadi kenyataan paling jujur bahwa hukum telah membebaskan seseorang yang oleh hukum itu sendiri telah menuduhnya dan mendakwanya sebagai korup dan kemudian memutihkan semua persoalan secara hukum pula.
Sepertinya sepanjang perjalanan sejarah negeri ini, perang antar geng-geng hukum kerap menjadi fenomena di lembaga peradilan. Adil yang menjadi terminal utama semakin jauh dan tak punya alamat yang menentu, ia kadang berada diatas gantungan kunci Mercedes bens atau mendadak bertengger di kursi antik atau seketika nongol di hotel mewah.
Sepertinya kita semua diam-diam meninggalkan jejak-jejak langkah reformasi yang akhir-akhir ini mulai goyah, sepertinya watak yang diwariskan masa lalu terlalu indah untuk kita tanggalkan, terlalu nikmat untuk kita lepas, terlalu merdu untuk kita lupakan. Kita masih saja senang untuk dicaci maki oleh anak-anak kita yang semakin sadar akan kusta-kusta kita, sebagai orang tua, yang semakin didesak oleh kerinduan melihat negerinya 'steril' dari penyakit-penyakit sejarah.
Dan sepertinya kita memang telah kehilangan ruang-ruang waktu untuk semakin sadar akan ketidaksadaran dan kesadaran kita.
28 Maret 1999 Â
#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Penerbit Tanda Pustaka, 2018.Â