SEPERTINYA kehidupan kita tidaklah maju ke depan tetapi mundur jauh ke belakang. Kenyataan hidup yang kita lakoni menunjukkan pembenaran akan kalimat yang sedikit bernada filosofis itu. Bahwa 'kejujuran' yang muncul dari mulut penipu hakekatnya adalah kebohongan belaka, bahwa muka manis yang dipasang pada wajah para munafik sesungguhnya perangkap maut bagi yang menikmatinya.
Orang yang telah kita tunjuk untuk memimpin kita, untuk memelekkan mata kita tentang berbagai hal kehidupan manusiawi termasuk kehidupan keadilan, keseimbangan distribusi ekonomi, hak dan kewajiban politik yang stabil, pemerataan kasih sayang kekuasaan pada mahluk-mahluk bangsa setiap saat menikmati rasa duka sejarah, kini berbalik menjadi orang yang seakan-akan mengajari kita menjadi pembohong, menjadi munafik, menjadi penjilat kepentingan tertentu untuk mencari rasa aman politis, berbalik menjadi mimpi buruk bagi kita seperti monster raksasa yang mengobrak-abrik bangunan-bangunan ideal sebuah kehidupan hanya karena (dia) mungkin secara sengaja atau tidak sengaja berpura-pura termasuk orang yang di luar bingkai idealisme tadi sehingga menjadi orang hitam di dalam sistem yang hanya akan membuat malu kewibawaan, ditaksir murah harga diri, dituduh pelacur, mafia ataupun germo oleh sorot mata rakyat yang sekarang ini semakin awas.
Sepertinya bukanlah hal yang mustahil di bumi tempat kita menonton beribu ragam tontonan kehidupan, mulai dari tayangan yang masuk akal sampai visualisasi kehidupan melampaui kesadaran akal, hal mustahil dibolak-balik dan menjadi tidak mustahil begitu pun hal tidak mustahil bisa berlaku hukum yang sama baginya, ketidakbenaran oleh tangan-tangan kreatif sebagian orang yang memang punya potensi untuk 'memunafiki' ketidakbenaran menjadi kebenaran, kebenaran dengan topeng retorika apapun bentuknya kita mempermaklumkan kepada orang lain sebagai ketidakbenaran.Â
Keadilan yang sering menjadi mimpi orang-orang yang sulit merasakan keadilan, orang-orang sepanjang pengetahuannya hanya 'menikmati' ketidakadilan pun mengalami nasib sama. Keadilan menjadi bahan baku mainan anak-anak yang memang belum dewasa, menjadi potensi untuk sebuah eksploitasi demi kekuasaan, demi uang dan jabatan.
Dalam bentuk kamuflase apapun entah kamuflase politik, hukum atau undang-undang, birokrasi, administrative sampai kamuflase para 'suporter' untuk menegakkan 'keadilan' dan preman-preman, ketidakadilan itu bisa diperjuangkan hingga titik darah penghabisan untuk menegakkan 'keadilan'.Â
Keadilan pada tangan-tangan tukang sulap dengan mantra-mantra hukum, politik, preman, lobi atau ekonomi bisa menyulapnya menjadi merpati-merpati hitam ketidakadilan terbang membentuk lingkaran keindahan yang semu. Hal ini tidak mustahil di negeri yang besar dari tumpukan-tumpukan sampah sejarah, politik, ekonomi dan hukum akibat penerapan kebijakan politik raja yang feodal dan sentralistik, walaupun kemudian mengalami sedikit perubahan warna dan suasana ke arah cakrawala yang sedikit segar dari pandangan demokratisasi tetapi pada saat bersamaan kita masih mencerminkan watak-watak yang sering kita lakukan pada masa lalu sebagai kesalahan, kebobrokan dan ketidakdewasaan bernegara dan kegagalan kita saling memahami.
Sepertinya bukanlah lagi hal yang mengejutkan ketika media-media massa lokal meneriakkan berita sampai serak tentang putusan bebas terhadap seseorang yang secara hukum telah melewati level tersangka sampai pada tahap terdakwa, karena secara hukum pula tuduhan terhadapnya tidak bisa disingkap. Di koran-koran pula orang mulai bertengkar tentang kebenaran -- keadilan.Â
Pada forum diskusi kecil-kecilan orang-orang kembali mempertanyakan kebenaran sebuah hukum. Di berbagai tempat di kampus-kampus orang-orang surut mempertanyakan kewibawaan lembaga peradilan. Di trotoar pinggir jalan sampai pada warung-warung kopi sepertinya sesak dengan isu-isu miring dan miris tentang pelecehan terhadap keberadaan hukum, hukum hanya bisa diam seribu kata ketika dihadapannya tegak sosok wibawa kekuasaan yang senang merawat panu-panu feodal sebuah kekuasaan, hukum bisa seketika menawarkan kelaminnya untuk digagahi jika dirayu sosok konglomerat, hukum bisa saja ganti kulit jika disiapkan perangkat yang aman oleh kekuasaan, hukum telah menjadi piranti-piranti permainan yang bisa menghibur dalam ketegangan.
Sepertinya hidup tidak akan pernah punya arti manakala kita malas memanusiakan sesuatu, sesuatu itu bisa kita sebagai manusia atau di luar kita sebagai mahluk yang menyimpan banyak kelembutan Tuhan. Kehidupan hukum tidak akan bermakna ketika para pelaku penegaknya kehilangan niat baik untuk memanusiakan peraturan hukum.Â
Hukum dalam keberadaannya sangatlah manusiawi tetapi kehadiran kita sebagai subyek dan obyeknya terkadang tidak memberinya ruang untuk eksis dan mentransformasikan kemanusiaannya kepada kita. Kita kadang membinatangkan keberadaan hukum yang pada titik baliknya adalah kebinatangan bagi kita. Kita mencabut rasionalitas hukum dan kita gantikan dengan logika kambing hitam, logika tukang sulap atau rasionalitas kaki atas kepala bawah. Hukum menjadi lemah dan lumpuh dengan sendirinya sehingga kehilangan kemampuan untuk mengatur pergaulan batin manusia secara damai.