Mohon tunggu...
Kasyaf
Kasyaf Mohon Tunggu... karyawan swasta -

peneliti, pengamat sosial budaya politik, blogger & citizen jurnalis. Sekbid Kajian & Dakwah Pemuda Muhammadiyah Jabar, Divisi Publikasi PW Muhammadiyah Jabar.\r\nPemilik blog www.biliksastra.wordpress.\r\ncom. \r\nSurel :kangsyaf@gmail.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keluarga, Pilar Peradaban

3 September 2013   22:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:24 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kita bisa menyaksikan fenomena sosial sekarang. Tidak sedikit menunjukan gejala orang yang rapuh mentalnya. Sikap frustasi dan mengakhiri hidupnya. Begitu pula anak-anak menunjukan sikap yang kurang  terpuji. Bahkan terjerumus pada perilaku tidak berbudi pekerti. Ereka disekolahkan, tetapi berperilaku seperti tidak berpendidikan. Berita di koran atau televisi, membuat orang yang masih punya nurani teriris hatinya. Sedih.

Padahal mereka anak-anak masa depan. Pelangsung pelanjut orangtua dan keluarganya. Dimana dalam ilmu sosiologi (kemasyarakatan), keluarga adalah inti (sel) dalam sebuah tatanan hidup masyarakat. Kumpulan keluarga-keluarga itulah yang membentuk sebuah jama’ah (komunitas sosial). Keluarga, asal kta kawula (kulo) dan warga, artinya warga kami. Menunjukan adanya komunitas sosial yang terdiri dari kumpulan individu yakni anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan ak-anaknya.

Jika melihat fenomena sosial di atas, pantas hati kita bertanya,” Akan bagaimanakah nasib anak bangsa ini?” Atau dalam sudut pandang Islam,” Hendak dibawa kemana arah nasib keluarga kita ini?”’

Gejala patologi sosial (penyakit sosial) ini memang dipicu faktor eksternal. Salahsatunya yang umum jadi alass=an faktor sosial ekonomi. Namun kalau kita renungkan, penyakit sosial ini pun sesungguhnya bisa redam, jika ada kekuatan internal dalam rumahtangga atau keluarga tersebut.

Pemahaman diri akan hakikat hidup berkeluarga amat penting, meredam penyakit sosial ini. Karena pemahaman akan tujuan hidup berumahtangga (berkeluarga) menjadi “rem” atau bersifat preventif dalam mencegah terjadinya perilaku menyimpang dari tatanan sosial dan agama tersebut di atas.

Karena tu niat atau motivasi membangun keluarga yang dimulai engan membuka pintu gerbangnya, yakni pernikahan amat menentukan. Dalam bahasa agama,” innama al amalu bi an-niyati” (sesungguhnya amal perbuatan tu tergantung niatnya), (HR Bukhari-Muslim).

Islam mengajarkan pernikahan adalah bagian dari ibadah. Bahkan disebutkan pernikahan itu sebagai setengah daripada ibadah. Adapun sisanya (setengahnya) lagi adalah kesabaran. Artinya dalam menjalani kehidupan berumahtangga kita harus siap menjalaninya dengan nilai kesabaran.

Apa arti kesabaran? Sabar adalah sikap aktip. Sabar bukanlah bermakna pasip, diam atau menunggu. Demikian bila mengutip istilah cendikiawan muslim, Ali Syari’ati. Sayangnya, dalam pola pikir masyarakat kita, masih banyak yang beranggapan bahwa sabar itu dmaknai pasiv (diam atau nrimo). Ini sebuah kekeliruan berpikir. Karena hakikatnya sabar adalah usaha, ikhtiar, perbuatan aktip. Sedangkan perbuatan setelah berbuat aktip (sabar) untuk hasilnya kita serahkan kepada Allah, inilah tawakal.

Dengan demikian, untuk membangun keluarga yang berkualitas butuhkan kesungguhan sejak awal merintisnya. Persiapan menimba ilmu rumahtangga amat penting. Sebuah ungkapan Imam Ali kwh,” Jadilah orangtua sebelum kalian berumahtangga”. Padahal yang dimaksud ungapan beliau ini menunjukan betapa pentingnya ita memiliki “ilmu rumahtangga” sebelum membangun keluarga. Betapa pentingnya luruskan nat atau motivasi pernikahan aias membangun keluarga.

Sebab jika motivasi (niat) membangun keluarganya karena kedar orongan norma sosial misalnya takut disebut “jomblo”, atau karena menikah dan berkeluarga itu sudah jadi tradisi atau aturan sosial-masyarakat, dengan penilaian positip dibandingkan melajang. Sikap seperti ini berbahaya. Karena membangun keluarga tidak didasari “ilmu” atau pemahaman yang benar menurut agama.

Karena dalam ajaran agama (baca. Islam), membangun keluarga atau rumahtangga Islami adalah bagian dari ibadah yang bersifat sakral. Ada pertanggungjawaban individu dan sosial. Bukan sekedar bertanggungjawab terhadap orangtua pasangan hidup kita. Tapi hakikatnya ada tanggungjawab spiritual terhadap sang Pencipta, Allah swt.

Karena itulah berkeluarga merupakan bernilai ibadah. Yaitu ibadah yang ada nilai ritual seperti diawali perjanjian yang kokoh (mitsaqon ghalizho) dan bernilai sosial. Karena dengan berkeluarga memiliki tanggungjawab sosial, secara materi (ekonomi), mental dan spiritual. Itulah sebabnya menikah itu dikatakan setengah dari ibadah, sisanya setengah lagi adalah proses sabar menjalaninya dalam mengisi kehidupan.

Visi Misi Berkeluarga

Imam Sajjad berkata” Satu hal yang menjamin kejayaan seseorang adalah memiliki anak-anak yang mana mereka kelak dapat menolong”.

Anak-anak apakah pria atau wanita merupakan nikmat terbesar dan sangat bermanfaat yang telah dianugerahi Allah pada hamba-Nya. Pantas jika nabi Ibrahim as bersedih ketika belum memiliki anak. Karena seorang anak itu merupakan nikmat besar, sumber kebaikan, kemuliaan, dan manfaat di dunia dan di akhirat. Tentu saja yang dimaksud adalah bagi seseorang yang bernilai iman kepada Allah dan karena keimanannya itu dapat melatih anaknya untuk menjadi seorang  yang beriman serta menjadi sosok yang menjadi baik dan bernilai.

Ibrahim as dengan memenuhi hati memuji Allah keturunan yang dianugerahi kepadanya. “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahiku pada usiaku yang tua, Ismail dan Ishaq, sesungguhnya Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya” (QS Ibrahim :39).

Kita bisa memahami dari ayat ini, bahwa posisi keturunan begitu penting dalam  kehidupan. Sehingga Ibrahim as memohon kepada Allah untuk dianugrahi anak (keturunan). Begitupun nabi Zakaria as, yang belum punya keturunan di usia senjanya, senantiasa berdoa. “Anugerahilah aku dari sisi-Mu keturunan yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga besar Yakub”. (QS Maryam :5-6).

Imam Ja’far As-Shodiq berkata,” Para ibu dan ayah berpisah dari dunia ini dan benar-benar memperoleh manfaat dari ibadah, doa. Dan perbuatan-perbuatan baik dari keturunan dalam pengertian bahwa anak-anak mereka adalah orang-orang yang beriman.

Nabi saw bersabda,” Lima kelompok manusia telah meninggalkan dunia ini catatan amal mereka tidak ditutup, pahala senantiasa dianugerahi kepada lima kelompok tersebut. (1) orang yang menanam sebuah pohon, (2) orang yang menggali sumur untuk digunakan orang lain, (3) orang yang membangun sebuah masjid, (4) orang yang menulis Qur’an, dan (5) orang yang meninggalkan anak yang saleh”.

Imam Ja’far As-Shodiq pun berkata,” Ketika nabi Yusuf as melihat saudaranya, ia berkata kepadanya,” Bagaimana engkau akan melakukan persiapan-persiapan bagi perkawinan?” Saudaranya menjawab   bahwa ayahnya Yakub as berkata,” Jika kalian dapat mengasuh anak-anak dengan baik, kawinlah!”

Beberapa uraian di atas merupakan bukti-bukti argumen bahwa pendidikan dan mendidik anak menjadi saleh adalah visi misi dari sebuah keluarga orang yang beriman.Tujuan berkeluarga amat mulia. Seorang ayah bukan skedar memberi nafkah materi untuk sandang, pangan dan papan (pakaian, makanan dan tempat tinggal) untuk isteri dan anaknya. Tetapi pula harus mengisinya dengan melakukan upaya pendidikan terhadap isteri dan anaknya. Tak lain supaya terbentuk keluarga yang beriman. Sehingga seruan Allah ,” Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka!” (QS At Tahrim : 6) bisa diwujudkan.
Ayat ini menunjukan bahwa laki-laki adalah imam yang memikul tanggungjawab keluarganya. Seorang kepala rumahtangga itu memikul tanggungjawab besar dalam misi menyelamatkan diri dan  keluarganya dari ancaman bahaya siksa neraka.

Ibu, Guru Pertama Kehidupan

Selain ayah sebagai figur Imam dalam sebuah keluarga. Ibu merupakan soko-guru anak-anak dalam kehidupan. Ibu adalah teladan  utama. Sehingga disebutnya ummi.Sebuah istilah yang seakar kata dengan kata Imam yang berarti pemimpin (yang ada di depan). Seakar pula dengan kata Ummat, yang berarti masyarakat yang terbentuk atas landasan nilai iman (lihat kamus Munid-Louis Ma’luf & Al Munawwir). Makna kata ummi, tempat tumpuan harapan, naungan. Ibu disebut ummi karena dia memang menjadi tumpuan harapan dan harapan naungan perlindungan anak-anaknya.

Ibu merupakan madrastul Ibtida’iyah (“sekolah dasar”) kehidupan anak-anaknya. Dari ibu awal mulanya anak-anak belajar berucap. Dari ibu anak belajar berkata-kata. Dari ibu anak awal mula belajar apapun. Karena sejak dalam kandungan pun sorang anak sudah terjalin komunikasi dengan ibunya.

Pantas jika nabi sempat bersabda,” Al Jannatu tahta min aqdami al-ummahat” (Sorga anak itu ada di bawah telapak ki ibu). Ungkapan nabi ini bahasa mubalagah (sastra) bahwa langkah seorang ibu bisa mengantarkan anaknya ke sorga. Artinya pendidikan yang diberikan ibu pada anak-anaknya, bisa mengantarkan anaknya menjadi anak yang saleh. Bila anak-anaknya menjadi saleh itu artinya jadi valon penghuni sorga.

Dengan demikian ibu merupakan “energi’ cinta bagi anak-anaknya. Kasih-sayang ibu tlah mendorong anak termotivasi untuk berprestasi. Dan sebaliknya terkadang karena kurangnya kasih sayang ibu, seorang anak bisa hidupnya terlantar dalam kehidupan.

Bagaimana dahsyatnya “energi” cinta seorang ibu bisa tergambar dalam kisah ringkas di bawah ini:
Suatu hari bocahbernama Thomas pulang dari sekolah dengan menangis. Karena hari itu konon ia disuruh pulang dan tidak boleh kembali lagi ke sekolah. Bukan karena dia nakal. Tetapi dia dianggap idiot (bodoh) dan tidak boleh mengikuti pelajaran lagi selamanya. Hati siapa yang tak runtuh bila menghadapi kondisi anaknya demikian.

Sang ibu dengan sabar dan penuh kasih sayang membelai anaknya. “Jangan menangis nak, kamu akan tetap belajar bersama ibu. Di sini”.

Setelah kejadian itu dengan sabar si ibu membimbing Thomas di rumahnya. Kelak mengira, si anak yang dianggap “idiot” itu justru yang setelah melampaui kegagalan demi kegagalan dia berhasil menemukan bola lampu pijar. Dialah Thomas Alpa Edison. Yang kini kita bisa menikmati terang   lampu, karena maha karya penemuannya.

Begitulah kasih sayang seorang ibu.
Seperti ungkapan syair indah...
Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Kau hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

...
Demikian salahsatu potongan syair lagu yang anak-anak dulu suka dendangkan ketika di kelas. Itu tempo dulu. Ketika kecil dan berada di sekolah tingkat dasar. Saat itu mungkin tidak mengerti apa makna syair tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun