Karena itulah berkeluarga merupakan bernilai ibadah. Yaitu ibadah yang ada nilai ritual seperti diawali perjanjian yang kokoh (mitsaqon ghalizho) dan bernilai sosial. Karena dengan berkeluarga memiliki tanggungjawab sosial, secara materi (ekonomi), mental dan spiritual. Itulah sebabnya menikah itu dikatakan setengah dari ibadah, sisanya setengah lagi adalah proses sabar menjalaninya dalam mengisi kehidupan.
Visi Misi Berkeluarga
Imam Sajjad berkata” Satu hal yang menjamin kejayaan seseorang adalah memiliki anak-anak yang mana mereka kelak dapat menolong”.
Anak-anak apakah pria atau wanita merupakan nikmat terbesar dan sangat bermanfaat yang telah dianugerahi Allah pada hamba-Nya. Pantas jika nabi Ibrahim as bersedih ketika belum memiliki anak. Karena seorang anak itu merupakan nikmat besar, sumber kebaikan, kemuliaan, dan manfaat di dunia dan di akhirat. Tentu saja yang dimaksud adalah bagi seseorang yang bernilai iman kepada Allah dan karena keimanannya itu dapat melatih anaknya untuk menjadi seorang yang beriman serta menjadi sosok yang menjadi baik dan bernilai.
Ibrahim as dengan memenuhi hati memuji Allah keturunan yang dianugerahi kepadanya. “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahiku pada usiaku yang tua, Ismail dan Ishaq, sesungguhnya Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya” (QS Ibrahim :39).
Kita bisa memahami dari ayat ini, bahwa posisi keturunan begitu penting dalam kehidupan. Sehingga Ibrahim as memohon kepada Allah untuk dianugrahi anak (keturunan). Begitupun nabi Zakaria as, yang belum punya keturunan di usia senjanya, senantiasa berdoa. “Anugerahilah aku dari sisi-Mu keturunan yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga besar Yakub”. (QS Maryam :5-6).
Imam Ja’far As-Shodiq berkata,” Para ibu dan ayah berpisah dari dunia ini dan benar-benar memperoleh manfaat dari ibadah, doa. Dan perbuatan-perbuatan baik dari keturunan dalam pengertian bahwa anak-anak mereka adalah orang-orang yang beriman.
Nabi saw bersabda,” Lima kelompok manusia telah meninggalkan dunia ini catatan amal mereka tidak ditutup, pahala senantiasa dianugerahi kepada lima kelompok tersebut. (1) orang yang menanam sebuah pohon, (2) orang yang menggali sumur untuk digunakan orang lain, (3) orang yang membangun sebuah masjid, (4) orang yang menulis Qur’an, dan (5) orang yang meninggalkan anak yang saleh”.
Imam Ja’far As-Shodiq pun berkata,” Ketika nabi Yusuf as melihat saudaranya, ia berkata kepadanya,” Bagaimana engkau akan melakukan persiapan-persiapan bagi perkawinan?” Saudaranya menjawab bahwa ayahnya Yakub as berkata,” Jika kalian dapat mengasuh anak-anak dengan baik, kawinlah!”
Beberapa uraian di atas merupakan bukti-bukti argumen bahwa pendidikan dan mendidik anak menjadi saleh adalah visi misi dari sebuah keluarga orang yang beriman.Tujuan berkeluarga amat mulia. Seorang ayah bukan skedar memberi nafkah materi untuk sandang, pangan dan papan (pakaian, makanan dan tempat tinggal) untuk isteri dan anaknya. Tetapi pula harus mengisinya dengan melakukan upaya pendidikan terhadap isteri dan anaknya. Tak lain supaya terbentuk keluarga yang beriman. Sehingga seruan Allah ,” Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka!” (QS At Tahrim : 6) bisa diwujudkan.
Ayat ini menunjukan bahwa laki-laki adalah imam yang memikul tanggungjawab keluarganya. Seorang kepala rumahtangga itu memikul tanggungjawab besar dalam misi menyelamatkan diri dan keluarganya dari ancaman bahaya siksa neraka.
Ibu, Guru Pertama Kehidupan