Semua tekanan ini akhirnya merusak kesehatan mentalnya. Dia pernah hampir mengakhiri hidupnya karena merasa tak sanggup lagi menahan beban. Anxiety membuatnya sulit tidur, enggan bersosialisasi, dan lebih memilih mengurung diri di kamar kos.Â
Dia bahkan sempat melukai diri sendiri dan menelan obat dalam jumlah banyak, namun di tengah keputusasaan, dia masih bertahan. Meski keluarganya tak mengetahui apa yang dia alami, dia berusaha sembuh sendirian.Â
Hanya kepada Tuhan dia bisa bercerita, "Aku lelah, Tuhan. Bawa aku kepelukan-Mu. Hamba tak kuat lagi." Kalimat itu menjadi doa yang sering dia ucapkan saat tangisnya pecah dalam kesendirian.Â
Dia tetap bertahan hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi adik-adiknya. Dia tak ingin mereka mengalami hal yang sama, cukup dirinya yang merasakan beban itu. Dia pun tak ingin gangguan mentalnya menjadi tambahan beban bagi kedua orang tuanya.
"Di tengah gelapnya hari-hari yang ia lalui, dia menyadari bahwa meski dunia terasa berat dan tak adil, ia masih punya satu alasan untuk bertahan: adik-adiknya. Dalam doanya yang penuh luka, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjalan, meskipun tertatih, agar beban yang ia pikul tidak jatuh pada mereka.Â
Mungkin hidup tak akan selalu baik, namun ia percaya bahwa selama bumi masih berputar, ada harapan yang tersisa untuk sembuh, untuk kuat, dan untuk akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini ia cari."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H