percintaan, keluarga, hingga kesehatan mentalnya yang terganggu. Sebagai anak sulung, dia memikul beban dan tekanan yang besar, hingga di beberapa titik dia hampir menyerah.Â
Di sebuah keluarga, hiduplah seorang gadis yang merupakan anak pertama. Sejak kecil, hidupnya selalu dipenuhi masalah, mulai dariNamun, bumi terus berputar, dan dia pun terpaksa ikut berputar bersamanya. Terkadang, dia berharap bisa memutar kembali waktu, kembali ke masa kanak-kanak, masa di mana hidup hanya tentang bermain. Kini, rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang berubah menjadi ruang yang penuh penghakiman, tak lagi nyaman untuk disinggahi.
Dia menjalani kerasnya dunia sendirian, tanpa kehadiran orang-orang yang dia sayangi. Hanya Tuhan yang selalu ada di sisinya, menjadi satu-satunya tempat berlabuh. Sejak kecil, dia terbiasa memendam semua perasaan.Â
Setiap kali dia mencoba mengungkapkan apa yang dirasakan, harapannya selalu patah. Orang-orang di sekitarnya lebih sering membandingkan dia dengan yang lain, tanpa pernah benar-benar memahami.Â
Waktu berlalu, dan akhirnya dia menyadari ada yang tidak beres dalam dirinya---anxiety mulai merasuki pikirannya. Namun, selama bertahun-tahun, dia memilih untuk tetap diam, merasa tak ada yang peduli dengan masalah mental yang dia alami.
Di antara semua masalah, hubungan percintaannya mungkin yang paling menyakitkan. Dia pernah mendapat perlakuan buruk dari pasangannya, termasuk hinaan tentang keluarganya. Kalimat yang masih terus terngiang di benaknya adalah, "Keluarga lu gak ada apa-apanya dibanding gua.Â
Temen-temen cewek gua, orang tuanya pejabat semua." Kata-kata itu meninggalkan luka yang dalam, bahkan trauma yang tak mudah hilang.
 Bertahun-tahun dia trauma pada laki-laki, hingga akhirnya seseorang datang, meyakinkan dia bahwa tidak semua laki-laki sama. Namun sayangnya, kehangatan itu hanya sementara. Setelah beberapa bulan, perlakuan laki-laki itu pun berubah, mengulang pola yang sama seperti sebelumnya.
Permasalahan dengan keluarganya juga tak kalah rumit. Tekanan demi tekanan menghujaninya, terutama tentang hubungannya dengan sang kekasih. Keluarganya selalu mempertanyakan status sosial, pendidikan, hingga profesi pasangannya.Â
"Dia kalau bukan TNI atau POLRI, kamu gimana? Setelah kamu lulus kuliah dan dia belum jadi apa-apa, kamu mau gimana?" Bahkan, keluarganya pernah menyuruhnya untuk memutuskan hubungan.
 Standar sosial yang tinggi membuatnya semakin tertekan, karena dia tahu bahwa pasangannya belum mampu memenuhi harapan keluarganya. Selain itu, dia juga merasa harus menjadi teladan bagi adik-adiknya, dan karena itu dia tak pernah bisa mengungkapkan isi hatinya. Di hadapan keluarganya, dia harus selalu terlihat kuat.
Semua tekanan ini akhirnya merusak kesehatan mentalnya. Dia pernah hampir mengakhiri hidupnya karena merasa tak sanggup lagi menahan beban. Anxiety membuatnya sulit tidur, enggan bersosialisasi, dan lebih memilih mengurung diri di kamar kos.Â
Dia bahkan sempat melukai diri sendiri dan menelan obat dalam jumlah banyak, namun di tengah keputusasaan, dia masih bertahan. Meski keluarganya tak mengetahui apa yang dia alami, dia berusaha sembuh sendirian.Â
Hanya kepada Tuhan dia bisa bercerita, "Aku lelah, Tuhan. Bawa aku kepelukan-Mu. Hamba tak kuat lagi." Kalimat itu menjadi doa yang sering dia ucapkan saat tangisnya pecah dalam kesendirian.Â
Dia tetap bertahan hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi adik-adiknya. Dia tak ingin mereka mengalami hal yang sama, cukup dirinya yang merasakan beban itu. Dia pun tak ingin gangguan mentalnya menjadi tambahan beban bagi kedua orang tuanya.
"Di tengah gelapnya hari-hari yang ia lalui, dia menyadari bahwa meski dunia terasa berat dan tak adil, ia masih punya satu alasan untuk bertahan: adik-adiknya. Dalam doanya yang penuh luka, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjalan, meskipun tertatih, agar beban yang ia pikul tidak jatuh pada mereka.Â
Mungkin hidup tak akan selalu baik, namun ia percaya bahwa selama bumi masih berputar, ada harapan yang tersisa untuk sembuh, untuk kuat, dan untuk akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini ia cari."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H